"Gak usah sebut diri lo istri, kalo dengan beraninya lo selingkuh dibelakang suami lo sendiri."
"Hah??!"
"Lo---lo nuduh gue selingkuh?" Felly terpekik kaget. Apa hal yang mendasari sehingga ia disebut-sebut selingkuh oleh Fandy?
"Gue gak nuduh." Ucap Fandy datar.
"Tapi gue liat dengan mata kepala gue sendiri."
Fandy memejamkan matanya erat. Nampak seperti orang yang mati-matian menahan emosi. Sedangkan Felly hanya tertunduk di hadapan Fandy dengan hati yang sudah mulai sakit.
"Awalnya gue kira lo bakal setia." Ucap Fandy kemudian.
"Ya.. meskipun kita sama-sama tau kalo pernikahan kita, ibaratnya cuma ajang pemanfaatan belaka. Tapi gue sama sekali gak pernah nganggep pernikahan itu cuma mainan. Gue tetep ngehargain lo, tetep ngehargain ikatan sakral kita. Bahkan gue sangat-sangat ngehargain lo sebagai istri gue, Fel."
"Gue bahkan selalu belajar untuk mencintai lo." Fandy menunduk pilu.
"Awalnya gue kira kita sama-sama berjuang. Berjuang supaya pernikahan kita ini bisa bertahan sampai ajal tiba. Tapi apa? Disini itu, sekarang posisinya cuma gue yang berjuang. Cuma gue yang berkorban."
"Dan lo? Lo malah selingkuh sama cowok itu."
"Ternyata selama ini gue salah. Gue gak habis pikir ternyata lo cuma nganggep pernikahan kita itu SAMPAH."
Felly mengatup mulutnya rapat-rapat. Menahan isakan yang seakan ingin menggelegar di istana mereka sekarang juga. Felly sendiri bingung, mengapa Fandy tiba-tiba berubah aneh dan menuduhnya selingkuh. Bahkan Felly sendiri tidak tau siapa lelaki yang dimaksud Fandy.
"Makasih banget untuk kebahagiaan yang selama ini udah lo kasih ke gue. Gue seneng banget sama itu semua."
"Dan makasih juga untuk kesakitan yang udah lo kasih ke gue. Lo bener-bener berjasa buat kesakitan hati gue, Fel. Thanks banget untuk semuanya." Ucap Fandy setelah itu beranjak meninggalkan Felly yang sudah berani membuka sedikit mulutnya dan memperdengarkan isak tangisnya.
"Fan..." lirih Felly
Fandy bersumpah. Fandy bersumpah bahwa hatinya seakan hancur berkeping-keping saat mendengar panggilan Felly yang sangat menunjukkan bahwa dirinya sekarang sedang rapuh dan lemah.
Fandy mengatupkan rahangnya. Memejamkan mata erat seakan tak mampu mendengar suara itu. Sungguh sekarang ia ingin sekali berbalik, berlari kemudian memeluk istrinya erat. Menenangkannya, lalu meminta maaf atas perkataan yang menyakiti hatinya.
Namun ia urungkan niat itu. Dari dulu sampai sekarang pun Fandy masih punya akal sehat. Tentunya ia bisa menentukan sikapnya disetiap perjalanan hidupnya. Dan mungkin saat ini, sikap yang harus di pilihnya adalah gengsi. Bukannya Fandy tak punya hati, tapi ia hanya ingin Felly sadar bahwa apa yang dirasakan Fandy memang sangat menyakitkan.
"Gue bener-bener gak ngerti, sumpah." Lanjut Felly dengan suara yang masih lirih.
Fandy menghela nafas berat. Kemudian,
"Rihan. Gue liat lo dikasi bunga sama dia, bahkan sampe pelukan. Gue harap lo ngerti deh.." kata Fandy tanpa berbalik dari posisinya. Karna ia pikir, kesakit-hatiannya akan bertambah bila ia melihat wajah Felly apalagi dengan ekspresi seperti itu.
Fandy pun langsung berlalu. Sungguh sekarang ia merasa lebih baik ia keluar dari apartemen daripada melihat Felly seperti ini. Bahkan ia sangat shock saat melirik Felly sekali dan melihatnya sudah berlutut lemas di tanah dengan isak tangis yang menggelegar.
******
Fandy menelusuri peradaban kota dengan motor ninja merahnya. Pikirannya sekarang sedang kalut sampai ia tak sadar bahwa kecepatan motornya kini sudah melampaui batas.
Beberapa pengendara lain bahkan mengumpat Fandy dikarenakan cara mengendaranya yang ugal-ugalan dan sesekali menyelip kendaraan lain tanpa memerdulikan keselamatan mereka juga dirinya sendiri. Tapi itu tak serta merta membuat dirinya tersadar. Malah Fandy semakin mempercepat laju motornya guna menghindari mereka dan mencari tempat yang enak dijadikan pelampiasan.
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih satu jam, Fandy pun sampai di salah satu taman yang cukup sepi. Fandy memang sedang galau. Bukankah, tempat yang cocok untuk orang galau itu adalah tempat sepi?
Fandy berjalan gontai menuju salah satu bangku yang menarik baginya. Letaknya tepat berada di depan sebuah danau yang indah.
Fandy memejamkan matanya erat, menarik nafas panjang dan mulai memikirkan jalan keluar dari masalahnya.
"Kenapa?" Fandy berkata lirih. Bahkan sangat lirih, hingga tak terasa kini air matanya hampir tumpah.
"Kenapa lo selingkuh saat gue mulai sayang sama lo?" Satu tetes air mata mulai jatuh tepat dibawah pelupuk mata Fandy.
"Hati gue sakit banget, Fel."
"Hati gue sakit banget pas ngeliat lo dipeluk sama Rihan."
Sekarang Fandy tengah terisak. Hal ini sangat jarang di alami oleh lelaki tetapi juga bukan hal yang mustahil untuk dialami oleh seorang Fandy.
"Gue tau gue bukan suami yang sempurna."
"Gue bahkan selalu buat lo kesel, buat lo marah, bahkan sesekali buat lo sial."
"Tapi gue selalu coba untuk jadi orang yang selalu ada saat lo butuh sandaran."
Fandy kembali mengingat moment-moment indahnya bersama Felly.
"Lo itu istri gue."
"Istri yang gue harapkan bisa mencintai dan menyayangi gue sampai ajal gue tiba."
"Gue sayang sama lo."
"Dan selama ini gue selalu ngeharapin balasan dari perasaan gue ke lo."
"Tapi mungkin harapan itu hanya bisa jadi ilusi."
"Bahkan akan terus jadi ilusi."
"Karna kenyataannya..."
"Cuma Rihan yang bisa merebut hati lo."
Fandy tersenyum pilu. Kembali lagi ia menyebut nama itu. Nama orang yang mungkin sudah merebut hati istrinya.
"Fandy?"
Fandy terbelalak saat mendengar seseorang memanggil namanya. Suaranya sangat lembut, dan familiar. Dengan buru-buru ia menghapus air matanya dengan cepat dan berbalik menghadap ke sumber suara.
"Gwenny?"
*******
Tbc.
Minggu, 15 Januari 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of My Marriage [COMPLETED]
Ficção Adolescente(SEBAGIAN PART DI PRIVATE YAH, FOLLOW DULU SEBELUM BACA. THANKS) HEH! PLAGIATOR JAUH-JAUH LU! Suatu kekecewaan besar ketika Felly harus pergi meninggalkan Bandung, kota tempatnya dibesarkan. Dimana ia harus melepas moment-moment indah bersama para s...