Papi

615 48 19
                                    

Ada yang penasaran kenapa Chacho sering memanggil Alexander dengan 'Papi'? Mungkin dengan membaca ini, akan lebih bisa dimengerti.

....

-Alexander's PoV- 

Dia mulai memanggilku Papi ketika aku dengan sukarela menjadi satu-satunya anak yang membawakan bola sepak untuk bermain sepakbola. Sebelum ada aku, dia bilang bola yang mereka pakai jelek, terkadang mereka membuatnya dari serabut kelapa kering saja. Dia suka Adidas. Bisa kulihat dia girang sekali saat bola yang kubawa bermerek aparel dari Jerman itu. Beberapa kali bolaku hilang, tapi aku selalu membawa yang baru di pertandingan kami berikutnya. Belakangan kuketahui, dari pengakuan Chacho sendiri, kalau semua bolaku ia bawa pulang diam-diam, disimpan di bawah kolong tempat tidur. Ia minta maaf karena bola-bolaku akhirnya musnah bersamaan dengan rumah yang terbakar.

"Kenapa kau sering memanggilku Papi?" Pernah kutanyakan itu padanya, suatu ketika di sore hari setelah kami selesai bermain. Teman-teman sudah berpencar pulang, sedangkan dia membantu memperbaiki rantai sepedaku yang putus.

Ia meringis kecil, menampakkan gigi depannya yang menguning karena pengaruh rokok. "Ayahku memanggil Letnan-nya dengan sebutan Papi. Mereka sahabat tak terpisahkan."

"Kau pernah tanya pada ayahmu kenapa dia memanggil Letnan-nya dengan sebutan Papi?" tanyaku lagi.

"Ya. Papi bukan berarti 'papa', tapi panggilan kesayangan untuk teman yang paling kita sukai."

Aku memandangnya heran. "Kau memanggilku Papi. Jadi, aku adalah teman yang paling kau sukai?"

"Tentu." Ia mengangguk cepat.

"Kenapa?"

"Karena kau selalu membawa Adidas untukku."

"Itu bukan untukmu. Aku membawakan untuk teman-teman agar bisa main sepakbola bersama. Jangan dihilangkan seperti yang kemarin."

"Tidak janji."

"Chacho! Aku serius. Jangan dihilangkan!"

Ia menyengir, menunjukkan jempol tangan kanan yang belepotan pelumas hitam.

Begitulah Chacho. Berada di dekatnya, semua masalah seperti gampang dipecahkan. Dan, ketika rantai sepedaku tetap putus tak bisa ia perbaiki hingga matahari tenggelam, ia akhirnya memutuskan mengantarku pulang, dia yang menuntun sepedaku, sementara aku berjalan dengan kesal. Aku marah-marah di sepanjang perjalanan, mengutuk dia yang sok ahli bisa memperbaiki rantai sepeda. Tahu begitu, aku sudah pulang dari tadi dan tidak perlu menunggunya memutar rantai atau memberi pelumas.

"Biar kuantar kau pulang, kupastikan kau selamat. Mereka tahu aku anak pimpinan MS-13 yang disegani. Orang-orang geng itu sudah kenal aku, mereka pasti tak akan merampok atau menyerangmu." Chacho menepuk dada, tampak bangga.

"Kaukira aku tak tahu dasar-dasar beladiri atau cara mengelak dari todongan pistol?" Aku mendengus. "Pamanku mengajariku banyak, tahu! Aku bisa mengalahkan orang-orang gengmu seorang diri."

"Sombong!" Chacho menoleh, mendelik ke arahku. "Kawasan dekat Mao Mao ini wilayah kekuasaan MS-13, bukan geng milik pamanmu! Hei, lagipula, sebentar lagi, kompleks dekat gang rumahmu bakal kami rebut dari kekuasaan Yoyo!"

"Coba saja." Aku menantangnya. "Jika kalian bisa, aku bersedia setor uang bulanan untuk geng kalian. Seumur hidup. Kau bahkan bisa mengambil barang-barang milikku, sesukamu, termasuk koleksi Adidasku."

"Serius?!" Chacho tampak girang.

"Serius." Aku mengangguk mantap.

"Ini taruhan? Berlaku seumur hidup?"

Aku mengangguk lagi. "Meski aku tak yakin kalian bisa. Yoyo tak mungkin kalian kalahkan. Mereka terlalu kuat."

"Tunggu saja, Papi. Tunggu saja. Hari itu akan datang! Hari di mana Yoyo hanya sekadar omong kosong dan MS-13 menguasai seluruh Barrio Cabañas!"

Beberapa tahun kemudian, Chacho membuktikan omong besarnya tak sekadar bualan. Saat aku lulus sekolah menengah dan bersiap masuk universitas, dia diangkat jadi pimpinan baru menggantikan seniornya, dan dalam waktu singkat, geng mana pun di barrio jadi terpinggirkan. Dia cukup brutal dalam memimpin, tak segan pula membunuh warga sipil yang membangkang. Aku tak bisa mencegah, karena ini menyangkut prinsip seorang Chacho, tak boleh diganggu gugat. Justru aku yang kena imbas dari tantangan sombongku di masa kecil yang masih ia ingat hingga kami sama-sama dewasa. Chacho sesuka hati mengambil sepatu kets-ku setelah masa gilanya pada bola Adidas surut. Dia juga sering mengambil uangku, hasil jerih payahku bekerja di tiga tempat sekaligus, siang malam.

Lelaki sialan. Teman yang paling dia suka, katanya? Omong kosong.


******



Chartreuse - On the Other SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang