Penebus Dosa Alexander

102 12 28
                                    

Sudah menebak hal apa/siapa yang berada di dalam chest freezer? Akan terjawab di sini. Not really a spoiler, karena the biggest and hardest thing tetep stay in the book :")

***

Alexander meraung, hendak melepaskan diri dari cengkeraman Marco. "Tidak! Lepaskan aku! Biarkan aku pergi! Tio!"

Marco justru menariknya lebih dekat, meraih tangan kanannya agar menyentuh isi di dalam boks.

"Rasakan dengan sepenuh hati, Alex. Tak sedingin kelihatannya, tak apa."

Alexander masih meronta, tapi tetap kalah tenaga. Saat tangannya dipaksa menyentuh isi di dalam boks, tangisnya pecah.

Pemuda itu baru saja menyentuh kepala plontos Juanito, dingin mengeras. Masih terpisah dari tubuh, dengan sayatan merah-beku tak rapi di bagian leher. Chest freezer membuat kepala tersebut kaku, berdampingan bersama tubuhnya yang telentang di atas potongan balok es, tak tertutup apa pun. Hanya berselimut uap putih dan bunga es di sekelilingnya.

Alexander tak pernah terang-terangan menangis sejak umur 10, apalagi sekencang ini. Tubuhnya menggigil bukan karena kedinginan, tapi ngeri, tampak dari sorot matanya. Sang paman mengempaskannya ke titik paling dasar, untuk ke sekian kali, dan pria itu tahu benar cara melakukannya.

"Sshh, tak apa, Bebe. Tak apa. Sshh ...." Marco mendudukkan Alexander di kursi, kini memegang kedua pundaknya. Perlahan jempol tangannya menyeka air mata di pipi Alexander, hingga membersihkan cairan yang keluar dari hidung dan tepi mulut keponakannya.

Alexander menatapnya tak berkedip, dengan napas tersengal dan tubuh menggigil. Mulutnya gemetar, tak mampu mengucapkan satu patah kata pun.

"Dengarkan Tio, oke?" Marco balas menatapnya penuh sorot welas asih. "Ketika kau kecil dan berbuat salah, orang dewasa-lah yang menanggung dan membereskan kesalahanmu. Sekarang, kau telah dewasa, maka sudah sepatutnya kau mampu membereskan kesalahanmu sendiri. Tio di sini hanya berusaha membantu. Mengerti, Bebe?"

Alexander belum mampu merespon.

"Kau menembak sahabat baik Tio, tepat di kepala. Membunuhnya di tempat, sebelum dia dibacok para cecunguk itu. Ingat ini, Alex. Kau yang membunuh Juan, bukan mereka." Nada suara Marco bergetar di kalimat terakhir. Pria itu mengelus pipi keponakannya perlahan.

Suara seorang wanita terdengar, berteriak serak menyakitkan dengan suara menggelegar.

"Jika kau tak muncul, Elisa akan baik-baik saja, Alex! Kau yang membuat kakakmu sendiri terbunuh! Kau dengar? Kau membuat Elisa terbunuh!"

Alexander merasa otaknya dibetot keras-keras. Pandangannya buram disusul tubuhnya terasa seperti balon yang mengempis dengan cepat. Marco sigap menopangnya, mengguncang sang keponakan agar tetap sadar.

"Tio tak membuatmu mabuk kali ini. Jangan lari, Bebe. El Palabrero tak mengizinkanmu menghindar dari tanggung jawab. Buka matamu." Marco memerintah tegas.

Alexander membuka mata, lelah dan sayu.

Marco tersenyum sedih. Perlahan ia menyisir rambut Alexander dengan tangan. "Tio terus terang sangat kecewa padamu. Kau menuruti permintaan tak masuk akal orang-orang Mara dengan mengeksekusi Juan. Kedudukanmu itu Letnan, Alex, harus berapa kali Tio katakan, hm? Kenapa Letnan-ku mau saja diperintah orang Mara untuk menembak El Palabrero? Meski Juan bukan ketuamu secara langsung, harusnya kau tahu benar kalau dia setara denganku. Membunuh Juan berarti membunuh separuh jiwaku, Alexander. Aku menghormati dan menyayanginya lebih dari seorang sahabat." Marco berhenti sejenak, memaksa Alexander yang menundukkan wajah agar menatapnya kembali.

Chartreuse - On the Other SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang