[Chacho's PoV]
Maret, 2014
Punta Sal Beach, Tela
"Tio..."
Aku berhenti menenggak Salva Vida, menoleh pada sosok di sampingku. Kutelusuri tiap sudut matanya yang terpejam rapat. Dia belum bangun.
"Tio..."
Cukup. Pada panggilan pertama saja, darahku sudah mendidih. Aku tak mau mendengar Alexander mengigau bajingan keparat itu ketika ia bersamaku.
"Alex... hei, buka matamu!" Tak sadar, aku menepuk pipi Alexander dengan keras, agak membentak pula. Ia bangun dengan mata terbelalak kaget. Aku mendesah, diam-diam merasa bersalah. Biasanya aku membangunkan dia dengan tepukan wajar di lengan sembari memanggil namanya, tapi sekarang? Bajingan itu mengacaukan semua.
"Ada apa?" tanyanya serak, tergeragap. Buru-buru ia bangun, duduk menghadapku dengan mata masih merah.
Aku menunjuk matahari yang tenggelam di kejauhan tanpa bersuara. Ia mengikuti telunjukku, ikut memandang sinar oranye redup berpadu dengan langit abu-abu. Kulihat sorot matanya ikut meredup saat beralih menatapku.
"Kita pulang sekarang?" tanyanya lirih. "Maaf aku tadi ketiduran."
Aku membalas menatapnya. "Kauingat mimpimu barusan?"
Ia mengerjap. "Mimpi?"
"Ya. Kau bermimpi saat kau tidur barusan. Masih ingat mimpi macam apa?" tanyaku datar.
Ia menggeleng. "Aku... lupa."
"Lupa?" Aku tertawa kecil. "Kau sampai menyebutnya dua kali dengan jelas, masa kau lupa?"
"Aku mengigau?" Ia memandangku dengan sorot tak enak. "Apa yang aku katakan saat aku mengigau barusan? Itulah kenapa kau membangunkanku?"
Aku mendekatkan diri, hidung kami hampir bersentuhan, dan ia berusaha untuk tidak mundur. Kutatap matanya lekat, mencari tahu apakah ia berbohong atau benar-benar lupa. Saat ia berkedip dengan mata berair, aku tersenyum miris. Perlahan kubisikkan satu kata tepat di telinga kanannya. "Tio."
Alexander memundurkan wajahnya dariku, refleks menggeser duduknya menjauh.
Aku juga menggeser dudukku agar tidak berdekatan dengannya. Kedua tanganku merenggut pasir pantai sebagai pengganti teriakan marahku... yang entah, untuk siapa.
"Apa yang kau harapkan, Armando?" Alexander menoleh ke arahku, aku bisa merasakannya. Pandanganku tetap lurus menatap matahari tenggelam, yang kini hanya tampak berupa semburan sinar terakhir sebelum hari benar-benar gelap.
"Kaupikir aku bisa mengatur mimpi sesukaku?" Alexander mulai mencecarku. "Kaupikir aku menghendaki bermimpi tentang dia, di sini, ketika aku bersamamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Chartreuse - On the Other Side
General FictionIni kayak semacam... persinggahan[?]. Jadi, ketika aku stuck dengan alur utama, aku suka refreshing, tetep nulis Chartreuse meski bukan untuk 'jalur resmi'. Kupikir ini juga bisa kubagi dengan kalian, apalagi yang mulai menanyakan update part :'v Nu...