Chapter 16: Alan Lebih Cerdik Dibanding Albert

1.9K 168 30
                                    

****
Vote dan koment, Bro!

Satu hal yang tak bisa lepas dalam benakku saat ini adalah keberuntungan. Aku mengharap keberuntungan yang kekal untuk menghadapi masalah karena masalah akan lenyap jika ia menemukan keberuntungan. Namun harapan itu salah, malah keberuntungan itu perlahan semakin rumit saat aku berusaha mengatasinya. Aku belum menemukan keberuntungan saat ini.

Sudah sedari tadi Jeniffer selalu memasang tampang buruk padaku, entah dia masih marah tentang kecerobohan itu atau ada hal lain yang mungkin masih ia pendam tentang pukulan keras Kevin di punggungnya saat ia menyiksaku di terowongan kala itu. Aku dapat membaca gerak - gerik mukanya; sinis, jengkel, marah, sombong, juga dengan sedikit tatapan membunuh. Dia bisa saja mempermudah waktu untuk membunuhku, tapi tidak segampang itu.

Jeniffer menggonta - ganti channel tv yang ia tonton, namun tidak ada yang serasi dengan selera gilanya itu. Kau tahu, dia ingin mencari adegan pembunuhan seperti psikopat yang ia idam - idamkan, namun adegan itu tidak ditampilkan secara terang - terangan. Ia mengumpat kesal akan hal itu, dan melampiaskan emosinya padaku seperti tatapannya tadi. Ia membanting remote tv di meja kemudian melempar sumpah serapah terhadap siapa saja yang ada di dalam tayangan itu.

Karen yang sibuk dengan makanannya lebih memilih tertawa jahil melihat tingkah wanita pengupas kuku itu. Ia berusaha menarik emosi Jeniffer yang berapi - api, namun Jeniffer tidak memikirkannya. Karen hampir tersedak karena saking melepas tawa, namun ia lebih cepat meneguk minuman sebelum akhirnya Jeniffer yang malah membalas tawanya. Seandainya aku yang berada di posisi Karen saat ini, otomatis delapan kuku tanganku sudah lenyap.

Karen akhirnya melempar sneakers tepat di kepala Jeniffer, hingga mengundang Jeniffer hampir melepas sumpah atas kejahilannya. Jeniffer terpaksa lebih memilih diam. Karen akhirnya tertawa jahil padaku seraya melirik - lirik sneakers yang ia lempar tadi. Sialan. Karen ingin memancing amarah Jeniffer untuk mengingat kembali tentang sneakers yang pernah kupakai itu. Kenapa benda itu belum juga ku singkirkan? Dasar pelupa.

Jeniffer memang sudah melihat benda itu, namun tidak ada reaksi yang ia lontarkan padaku. Ia kembali fokus dengan tontonnannya namun melenceng jauh dengan selera gilanya. Entah roh apa yang masuk ke dalam tubuh Karen, membuat Karen tak puas beradu domba pada aku dan Jeniffer. Ia mencari - cari benda yang layak empuk untuk mendarat tepat di kepala Jeniffer. Dua buah kaos kaki dekil sudah berada digenggaman Karen.

Karen menyungging senyum jahilnya padaku, kemudian dengan cepat melempar satu buah kaos kaki hingga mengenai kepala Jeniffer, dan satunya lagi menyongsong ke arahku. Aku menangkap benda busuk itu. Tidak, Karen ingin menghapus jejaknya dengan melemparkannya padaku.

Aku melihat Jeniffer memasang tampang jelek setelah mendapati sebuah kaos kaki yang tergeletak indah di kepalanya. Ia mengangkat benda itu dengan kedua jarinya yang diapit seraya jari yang lain menutup hidungnya. Jeniffer segera berdiri dan mencari - cari siapa pelaku kejahilan itu. Aku tidak bisa bergerak lagi, kaos kaki itu masih ada di tanganku dan mata Jeniffer terpaku melihat itu. Sudah pasti ia akan menuduhku kalau begini. Dasar Karen, ia tidak henti - hentinya tertawa jahil.

"Siapa yang melemparkan benda ini di kepalaku. Ayo, jujur!"

Suara Jeniffer hampir membuat gendang telingaku pecah. Ia membuang kaos kaki itu dari jari - jari imutnya seraya berjalan menyusuri ke arahku. Aku melotot ke arah Karen, berusaha untuk membuat Karen jujur akan kelakuannya itu. Namun Karen menggeleng tidak, ia malah menunjuk - nunjuk ke arahku. Sialan, itu Karen yang membuangnya.

"Bu-bukan aku, Jeniffer," ucapku gugup. Saking takutnya, aku melepas kaos kaki itu dan mengangkat kedua tanganku, layaknya seperti seorang tahanan penjara. Itu malah membuat Karen makin tertawa lepas.

Psychopath AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang