Mengapa?

2.9K 253 9
                                    


Jessi pov

"Kamu gak kuliah?" Tanyanya sembari menyesap green tea latte nya.

Siang ini aku mengajaknya untuk pergi ke Mall dengan alasan akan membeli buku, padahal aku hanya ingin menghabiskan waktu lebih banyak bersamanya.

Kami mampir sejenak di kedai kopi sebelum pergi ke Gramedia. Memesan beberapa sweet dessert sebagai pelengkap.

"Sejak kapan aku kuliah hari Minggu si, Jane?" Ia mengangkat kedua bahunya. Aku tahu dia hanya basa-basi menanyakan hal itu.

Jane membenarkan posisi duduknya lalu menatapku penuh tanya.

"Jujur sama aku, ada apa antara kamu sama Dinda?" Aku terhenyak mendengar pertanyaan ini. Selama ini aku kira Jane tak pernah memikirkannya semenjak hari dimana kami double date, sebut saja begitu.

Ku coba serileks mungkin agar semua terlihat baik.

"Nothing." Jawabku singkat.

"Jess, aku pulang sekarang kalo kamu gak mau ceritain hal ini." Katanya dengan nada sedikit tinggi dan membuatku lemah sesaat.

Dia sedang menungguku untuk bercerita, namun karena aku tidak kunjung memberinya jawaban, ia lalu beranjak dari tempatnya, dan dengan cepat aku menggenggam tangannya.

"Please, jangan pergi. Ok aku cerita sama kamu." Jane kembali duduk.

"Dulu pas SMA, Dinda itu satu sekolah sama aku, Kami beda kelas. Dia gak suka sama aku yang dianggapnya saingan dalam segi prestasi. Terus cowok yang dia sukai nyatain perasaannya sama aku didepan semua orang waktu itu. Cowok itu nembak aku dilapangan basket. Dinda melihat semuanya, dan hal itu yang membuatnya makin benci sama aku, mungkin sampe sekarang." Aku berhenti dan mengambil nafas untuk selanjutnya bercerita.

"Jadi kamu terima cowok itu?"

Jane terlihat antusias mendengarkanku. Wajahnya menggemaskan saat sedang serius seperti ini.

"Aku gak punya rasa sama dia, jadi aku tolak."

"Kamu nolak dia didepan semua temennya? Ckck. Dasar nenek sihir." Aku mendelik kearahnya saat gumamannya ku dengar diakhir kalimat.

"Kamu ngatain aku apa tadi? Kurang jelas Jane. Ulangin!" Dia terlihat gugup melihatku seperti ini, pasti dimatanya aku sudah persis seperti apa yang dia katakan.

"Gak kok, aku cuma bilang kamu cantik. Makanya cowok itu lebih milih kamu." Haha, kini aku tahu kelemahannya.

"Aku nolak dia karena aku mau jujur sama perasaan aku. Kalo aku Nerima dia, itu cuma akan nyakitin perasaan masing-masing pada akhirnya." Jelasku.

"Begitupun sebaliknya, kalo cinta ya bilang, jangan cuma berani ngomong pas orangnya lagi tidur." Sepertinya dia terkejut karena aku mendengar semuanya.

Ku genggam tangannya yang ada diatas meja. Aku ingin dia tahu bahwa semua akan baik-baik saja selama kita menghadapi semuanya berdua.

"Maaf" Kulihat matanya mulai berkaca-kaca.

"Usst. . Jangan sedih. Cup. .cup. . Cini aku peyuk, atau mau aku cium?" Kurentangkan tanganku menunggunya datang kepadaku dan mempoutkan bibirku. Dia segera mengusap air matanya.

"Apaan sih kamu. Udah yuk, katanya mau cari buku." Dia berjalan keluar mendahuluiku. Pasti pipinya sedang merona saat ini.

"Haha, dasar Jenni, masih aja jual mahal si. Kan bikin gemes."

Sebelum keluar, Tak lupa aku membayar pesananku terlebih dahulu, lalu menyusul Jane yang sudah cukup jauh kulihat.

***

JANETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang