Kami mulai memasuki mobil dengan posisi duduk yang sudah di sepakati.Belum jauh meninggalkan hotel tempatku bekerja, kami sudah harus berhadapan dengan macet, Seperti sore-sore biasanya, jalanan macet karena dijam ini orang-orang mulai menyelesaikan aktivitasnya untuk pulang ataupun melanjutkan acara masing-masing.
Perlahan namun pasti, mobil bergerak maju sedikit demi sedikit. Wildan pun nampak biasa dengan rutinitas seperti ini, ya memang sehari-hari ia sudah terbiasa menjadi supir dadakan untuk orang tuanya. Hihi.
Jessi yang awalnya menatap keluar jendela, kini mulai menyandarkan kepalanya pada pundak kananku. Dia pasti lelah setelah apa yang terjadi hari ini.
Tangan kirinya mulai menggapai jemariku dan menuntunnya ke atas pangkuannya. Kemudian tangan kanannya merangkul lenganku cukup erat. Aku senang melihatnya seperti ini, seolah hanya aku yang bisa membuatnya nyaman.
"Aku ngantuk, Jane." Katanya lirih, Kulirik ia yang sedang terpejam.
"Yaudah kamu tidur, biar aku jagain." Ucapku pelan, ia pun mengangguk. Tanganku yang bebas kugunakan untuk mengelus rambut panjangnya.
Sepertinya aku terlalu asyik membuat Jessi merasa nyaman, hingga saat aku melihat ke arah spion, aku baru menyadari ternyata Wildan memperhatikanku sedari tadi.
"Lo kenapa senyam-senyum gitu? Ga jelas." Ia masih fokus dengan kemudinya namun sesekali melihat ke arahku melalui spion.
"Gapapa, Jane. Gue baru kali ini ngeliat sisi lain dari diri Lo." Aku tak mengerti.
"Maksudnya?" Tanya ku membuat ia tertawa kecil.
"Maksud gue, Lo tuh keliatan sayang banget sama Jessi. Sikap Lo yang lembut sama dia kan gak pernah Lo tunjukin sama gue kan? Makanya gue heran." Kini aku mengerti. Aku rasa Jessi sudah tertidur.
"Ya iyalah. Masa iya gue harus bersikap manis sama orang yang nyebelin kayak Lo. Ogah." Aku memutar mata dan membuatnya tertawa. Tapi, tunggu.
"Heran?" Tanyaku dengan alis terangkat.
"Ya, heran. Kenapa kalian gak jadian aja si, cocok tau, Sama-sama cantik." Aku tergelak mendengar candaan Wildan kali ini. Namun ku perhatikan dari mimik wajahnya, tak ada raut menyebalkan seperti biasanya.
"Gak usah becanda deh, Dan." Aku mencoba tak menghiraukan omongannya. Aku lihat ia tersenyum dengan arti yang tak dapat ku mengerti.
Hening cukup lama. Aku memilih diam karena tak punya bahan pembicaraan lain untuk kuobrolkan dengan lelaki yang sedang asyik fokus ke jalanan ini. Ruas jalan yang sudah aku hafal mulai terlihat. Sekitar 40menit lamanya perjalanan yang kami tempuh.
Sesampainya didepan kossanku, Wildan kembali bersuara.
"Jane, kalo emang Lo sayang sama dia, jangan ada yang Lo tutup-tutupin dari dia. Dia berhak tau siapa Lo dan dari mana Lo berasal." Aku terdiam mendengar ucapannya. Wildan bisa bersikap dewasa jika aku mulai bersifat kekanak-kanakan.
"Karena, siapapun Lo dan gimanapun Lo, dia pasti akan nerima Lo apa adanya. Gue yakin dia tulus, gue bisa liat itu dari cara dia mandang Lo dan sikapnya ke Lo itu beda, Jane." Wildan menatap Jessi yang masih terpejam.
"Thanks, buddy. Lo emang temen gue yang paling pengertian." Aku tersenyum padanya dan dibalasnya.
"Yaudah Lo bangunin tuh tuan putri Lo, gih." Suruhnya disertai cengengesan.
ku tepuk pelan pipi Jessi dan ku panggil namanya berkali-kali agar ia terbangun.
"Jess, udah sampe nih." Tak lama ia pun bangun kemudian mengusap matanya.
Sekilas aku melihat sedikit basah di pipinya. Apa dia baru saja menangis?.
"Jane, Jess, gue langsung cabut ya. Gue mau mau nonton Madrid. Bye." Pamit Wildan langsung keluar dari mobil dan meninggalkan kami berdua dalam diam.
Jessi diam, Dia menatap ke luar jendela dan bersandar pada kursi.
"Jess, Kamu. . kenapa?" Tanyaku hati-hati. Ia pun seakan tersadar lalu membenarkan posisi duduknya menjadi tegap. Kulihat ia mengusap sesuatu dibalik wajahnya sebelum akhirnya ia menatapku.
Matanya sedikit sembab?
"Aku juga langsung pulang ya. Papa suruh aku nemenin dinner dia bareng rekan kerjanya malem ini."
Ia menatapku cukup lama tanpa berkedip. Dan itu membuatku semakin jelas melihat matanya yang berkaca-kaca.
Kenapa hatiku sakit melihatnya seperti ini?
Cukup. sudah cukup selama ini aku membuatnya terluka, menyiksa diriku yang memendam rasa padanya, menyakiti perasaan kami berdua. Aku tidak ingin lagi melihatnya menangis karena keegoisanku.
Aku mulai mendekatkan wajahku perlahan kearahnya, kutarik tengkuknya dan aku daratkan bibirku di bibirnya.
Lembut dan hangat, kukecup lama agar ia tahu perasaan ini memanglah untuknya.
Aku berhenti menciumnya dan memberi jarak agar mata kami bertemu. Air mata yang sedari tadi ia tahan tak dapat lagi dibendungnya. Ia menatapku tak percaya.
Mungkin selama ini tanpa sadar hatiku terus belajar mencintainya meski logikaku selalu menolak.
Aku mencintainya, Tuhan.
"Maaf atas egoisku selama ini dan buat hatimu terluka. Ga pernah terlewat hari tanpa aku mengabaikan hadirmu. Kali ini, biarin aku mencintai kamu dengan caraku."
Aku menangis setelah kalimat tadi keluar dari mulutku. Aku merasa bodoh setiap kali mengingat apa yang sudah aku lakukan pada perempuan dihadapanku ini.
Tertunduk aku, tak sanggup menatap matanya semakin lama.
Jarinya kini menyentuh daguku dan mulai menuntunku untuk menatap wajahnya.
"Makasih." Ia tersenyum dengan mata sendunya.
Wajahnya mendekat ke arahku. dan lagi, bibir kami bertemu. Kali ini bukan sekedar kecupan, melainkan lumatan lembut yang membuat bibir kami basah. Tangan kami saling mengelus tengkuk masing-masing.
Gelenyar aneh pun aku rasakan seiring ciumannya yang memanas. Lidah kami berkali-kali bertemu seakan membuat kami semakin bernafsu.
Kami pun berhenti setelah merasa kehabisan nafas.
Kutautkan dahiku dikeningnya. "I Love you, Jess." Ucapku tulus.
"Love you more, Jennie."
***
Tbc(22/02/2017)
Thanks for read, and waiting
Hope you guys always wait this story
I'll glad for that
Vote, Comment Then Follow Me 😊
See ya
KAMU SEDANG MEMBACA
JANE
Fiction généraleKetika seseorang yang baru kamu kenal, tiba-tiba menarikmu jauh dari kehidupan yang sudah sedari dulu kau jalani. Dia membawamu untuk merasakan hal-hal baru, bahagia, menyenangkan, sakit dan menyedihkan. Main Cast: -Jannine Weigel (Jane) -Jessica Mi...