Ketika Eris masuk kelas, ia mengambil tempat paling depan. Bukan karena ingin memperhatikan pelajaran, tetapi karena ia ingin menunjukkan bahwa dia tidak ingin kalah dari si Ratu Lebah. Ya, si cewek itu boleh saja mencuri pandangan kakaknya, tapi dia tidak mau membiarkan Rose mempermalukannya. Rose akhirnya juga masuk kelas. Ia dengan percaya diri duduk di belakang Eris, persis di belakang bangkunya. Eris menelan ludah. Oh, tidak, pikirnya. Tidak boleh grogi. Akan kutunjukkan siapa bosnya sebenarnya!
Kemudian, anak cowok yang tadi pagi ditemui Eris di koridor masuk. Dia melewati bangku Eris untuk duduk di deretan belakang. Eris memalingkan wajah begitu ia duduk, berhati-hati agar tidak memandangnya. Tiba-tiba saja dia merasa tidak ingin rasanya berada di kelas itu, tetapi orang tuanya bersikeras agar ia mengambil kelas matematika untuk memperbaiki nilai.
Seorang anak perempuan dengan kacamata, rambut cokelat ikal, dan gaya jalan yang tergopoh-gopoh baru saja masuk kelas, dengan gugup duduk di sebelah Eris. Kacamatanya sangat tebal sampai-sampai matanya yang asli kelihatan dua kali lebih besar. Ia nyengir sedikit begitu melihat Eris, lalu membereskan buku-bukunya.
"Hai," sapa Eris.
"Oh, ya, hai," jawab anak perempuan itu. "Eh, h-halo. Kau—uhm—pasti anak perempuan yang suka dibicarakan Whitney, eh?"
"Kau kenal Whitney?"
"Y-ya, dia terkenal di mana-mana—dulu dia temanku satu-satunya," sahut anak perempuan itu. "Tak ada yang baik di sekolah ini kepadaku kecuali dia. Sebelum... sebelum dia bergabung dengan Rose dan gengnya. Eh, siapa namamu?"
"Eris."
"Aku Isabel." Suaranya pelan sekali sehingga Eris harus mencondongkan tubuh agar dapat mendengar kata-kataya.
"Kau tidak perlu malu," kata Eris.
"Oh, tidak, itu memang masalahku," ujar Isabel. "Aku tidak pernah lancar bicara dengan orang lain yang baru kukenal. Kecuali... yah, kecuali Whitney menemaniku. Tapi itu dulu, ya... dulu sekali. Ah, sudahlah, masa bodoh. Aku rasa kau... kau keberatan, ya?"
"Tidak, sama sekali tidak," kata Eris. "Aku juga sedang belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan di sini."
"Hah, ya, butuh waktu lama untuk seorang anak baru," kata Isabel. "Kau dari mana?"
"Skotlandia," jawab Eris.
"Oooh, harusnya aku bisa menduganya," kata Isabel bersemangat. "Aksenmu, tahu?"
"Kau sendiri?" tanya Eris.
"Kanada," jawab Isabel dengan tatapan mendongak. "Aku tidak terlalu bangga dengan hal itu, karena Kanada hanya tempat kelahiranku. Setelahnya, tidak ada yang istimewa dariku kecuali... kecuali aku penggemar novel dan..."
"Oh, aku juga penggemar novel!" ujar Eris. "Charles Dickens, George R.R. Martin, Philip Pullman... aku punya semuanya!"
"Sungguh?"
"Ya, kurasa kita akan cepat akrab."
"Eh, semoga saja."
Percakapan itu terasa sangat garing, tetapi cepat berakhir tepat ketika pintu kelas terbuka. Seorang wanita bertubuh kecil dan ramping dengan kulit putih, rambut hitam yang disanggul, dan kacamata bentuk bundar masuk ke kelas. Ia mendudukkan tas jinjingnya di atas meja guru.
"Itu guru kita?" tanya Eris pada Isabel. "Aku tak tahu Kenneth nama perempuan."
"Bukan... Mr Shackleboat itu laki-laki," bisik Isabel.
"Halo, selamat siang, class," kata wanita itu, suaranya jernih dan tegas. "Sayang sekali Mr Shackleboat tidak bisa mengajar untuk peretengahan semester ke depan. Ia sedang dirawat di rumah sakit karena kecelakaan kerja beberapa hari yang lalu. Rumah sakit tempatnya menginap memberitahu sekolah bahwa ia harus dirawat total selama itu karena keadaannya sangat buruk." Anak-anak bergumam-gumam tak jelas dan saling berkasak-kusuk, tetapi Eris hanya mengerutkan dahi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Elfworld: Kerajaan di Bawah Bumi
FantasyEris Amberson, seorang remaja Skotlandia yang berasal dari keluarga nomaden, baru saja pindah ke New Jersey dan sibuk menyesuaikan diri dengan lingkungan baru ketika tiba-tiba ia menemukan sebuah kunci ajaib. Tanpa disangka-sangka, sejumlah kejadian...