ROSE DAN RIVER

602 16 0
                                    



"Tangkap! Tangkap!"

"Bagus, Amberson!"

"Lanjutkan, Boys! Ayo! Bantai mereka!"

Suasana riuh dan ramai saat Liam Roberts melakukan lemparan tiga-angka dari tengah. Bola basket yang dilemparkannya membentur ring, tetapi kemudian berputar di atasnya seperti gasing. Seluruh tim SMA Leeds, sekolah Eris, menahan napas ketika menyaksikan bola basket itu pada akhirnya masuk juga ke dalam ring. Teriakan dan sorak-sorai membanjiri lapangan, seperti gempa bumi yang mengguncang.

"LEEDS MEMIMPIN DENGAN SKOR 32-29, SAUDARA-SAUDARA! PERTANDINGAN INI DIMENANGKAN OLEH SMA LEEDS!"

Begitulah komentator mengakhiri pertandingan pada siang itu dengan dramatis. Seluruh anggota tim SMA Leeds langsung berlarian ke arah lapangan, kemudian saling merangkul dengan pelatih mereka. Tim lawan, SMA Jorgensbury, hanya bisa melihat dengan muka kecewa. Phil, yang saat itu bermain sebagai pemain belakang, melemparkan senyum mengejek kepada lawannya dari Jorgensbury, kemudian menjulurkan lidahnya pada sang kapten tim, yang sudah siap menonjoknya kalau Liam dan anggota tim lainnya tidak menggiringnya kembali ke dalam 'lingkaran persaudaraan,' yaitu semacam lingkaran yang dibentuk oleh anggota tim yang saling berangkulan.

Eris, Leah, dan Isabel menyaksikan dari bangku penonton sambil berteriak-teriak. Leah yang paling parah. Topi kertas putihnya yang bertuliskan LEEDS PALING OYE tampak kucel karena keringat, begitu pula corat-coret di wajahnya yang semakin luntur. Isabel, sebaliknya, tampak malu sekali melihat kawannya berpenampilan seperti itu. Ia berusaha menutupi rasa malunya dengan menatap ke arah pasukan marching band diantara suporter yang mulai memainkan lagu Leeds My Love Where I Belong, lagu wajib seluruh siswa SMA Leeds.

"Ow, bunyi trombonnya nggak bisa lebih keras lagi, ya?" ejek Eris dengan suara keras.

"Hah? Apa?" tanya Isabel, suaranya melengking diantara dentuman genderang.

"Mau geser?" Leah menanggapi, suaranya parau akibat berteriak-teriak.

"Mau banget!" balas Eris. Ketiga anak perempuan itu pun menyingkir dari bangku mereka dengan susah payah, sebab kericuhan mulai terjadi. Confetti ditembakkan ke langit, peluit disiulkan, serta seru-seruan dari anak-anak Leeds yang menjadi pemandu sorak mulai menggelegar.

"Ugh, aku benci pertandingan basket kalau berkolaborasi dengan parade!" gerutu Isabel sembari menutup kedua telinganya.

"Yeah, aku juga," kata Eris. "Oh, itu dia, sang pemenang!"

Phil melambai-lambai padanya dari pinggir lapangan. Kemudian, ia menyongsong Eris dengan langkah tergopoh-gopoh.

"Hei, hei, kau tahu apa artinya ini? Kemenangan! Kemenangan pertamaku dengan klub basket!" teriaknya. Aksen Skotlandianya yang kasar masih terselip sehingga Leah maupun Isabel tidak mengerti apa yang dia ucapkan, tetapi Eris dengan mudah bisa menangkapnya.

"Ya, ya, aku mengerti, selamat untuk timmu, oke?" balasnya. "Jangan dekat-dekat, dong! Bau keringatmu itu, lho!"

"Kalian main dengan bagus," puji Leah.

"Oh, ya?" kata Phil. "Trims! Liam penyelamat kami!"

"Sudah jelas," timpal Isabel, mendadak mukanya memerah. Diantara teman-temannya, kepala Liam menyembul. Ia bersiul memanggil Phil.

"Hoi, Rambut-Wortel! Sini! Kita akan maju untuk penganugerahan medali!" serunya. Phil langsung berbalik, seperti anak kecil yang dipanggil saat akan diberi permen.

"Datang segera, Bos!" sahut Phil terengah. Dalam sekejap, ia lupa kalau dia baru saja berbicara dengan adiknya. Eris melengos.

"Dia selalu begitu," katanya pada Leah dan Isabel saat mereka duduk-duduk di kantin sambil minum soda. "Kapan dia terakhir menganggapku sebagai adiknya yang normal? Kayaknya nggak pernah!"

Elfworld: Kerajaan di Bawah BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang