PRIMROSE

331 17 3
                                    

Sampai di mana kita, ya? Aha!


Aku pernah mendengar kisah seorang wanita yang selalu diikuti oleh kematian. Dia bersedia melakukan apapun agar kematian tidak jadi mengambil anaknya. Tapi, apa pun yang dia lakukan selalu tidak berhasil. Kematian itu selalu menampakkan diri, sehingga tak ada lagi yang bisa ia lakukan kecuali pasrah. Nah, seperti itulah kira-kira perasaan Eris dan River saat melarikan diri dari serangan burung-burung pucat tadi. Saat sampai di rumah Eris, mereka merasa kematian sudah di depan mata, dan mereka tidak tahu harus bagaimana lagi selain pasrah. Kau bisa melihat dari mata keduanya bahwa badai yang menakutkan telah berakhir, burung-burung pucat itu sudah mati, tetapi ada sebuah perasaan dalam dirimu yang tidak sanggup kau utarakan.

Suasana hening mencekam, rumput-rumput dan bunga dandelion yang tercabut, serta pepohonan yang terpelintir setelah badai berakhir menyambut mereka. Ayunan yang tadinya tergantung dengan anggun di pohon oak di dekat pagar kini bagaikan seekor kambing yang baru saja disembelih dan dibiarkan terpancang pada paku, hanya saja tidak ada darah yang tercecer. Derik daun pintu yang engselnya tercabut hanyalah musik yang mewarnai kehampaan bumi. Jendela-jendela panjang yang menghiasi dinding seolah dijebol oleh ribuan meriam, sehingga kacanya jatuh berserakan. Tercengang dan terkesiap, Eris berlari ke dalam rumah dengan hati yang kalut sebelum River sempat mencegahnya. Melalui ruang tamu, ia menjelajahi rumahnya yang kacau balau. Dari sofa-sofa hingga lukisan-lukisan kunonya, dari kandelier hingga permadaninya... semuanya bertebaran dan tercabik-cabik.

"AYAH!!! IBU!!!" teriak Eris, memanggil dari pintu ke pintu. Tiap kamar dilongoknya, tetapi tidak ada jawaban. "PHIL!"

Putus asa, Eris berputar setidaknya tiga kali dari ruang satu ke ruang lainnya. Kepalanya dipenuhi angan-angan yang kacau. Setelah ia benar-benar yakin bahwa keluarganya telah lenyap, Eris kembali ke teras. River tidak berkata sepatah kata pun, tetapi kedua matanya yang keabu-abuan tampak segelap mendung di kaki langit. Ditatapnya rumahnya sekali lagi di atas rumput yang melandai. 

Dalam pikiran Eris, mereka tidak lagi berada di depan rumahnya, melainkan di dunia setelah kematian. Layaknya insan yang siap diadili untuk masuk surga atau neraka, ia dihadapkan pada dua kenyataan; baik dan buruk. Dengan mata yang basah oleh air mata dan urat nadi yang membeku, Eris jatuh terduduk di rumput, menggenggam tanah yang bercampur debu sedingin besi. Ia menangis sesenggukan sementara River di sisinya, menatap ke sekeliling. 

Pohon-pohon yang patah itu, pikir River. Ia membiarkan Luminox menuntunnya menuju ke batang pohon oak yang tadinya tempat dipasangnya ayunan. River meraba pohon itu dengan tangannya yang bebas, kemudian ia berlutut di bawahnya. Akar-akar pohon itu sungguh kuat, sehingga ia tidak tercabut dari tanah seperti pohon-pohon lainnya. Namun, River bisa merasakan bahwa akar itu mati. Tidak ada detak jantung kehidupan daripadanya.

"Eris..." dia memanggil gadis itu. "Eris, kemarilah."

Mata Eris masih berkabut oleh air mata. Ia benar-benar tidak percaya dengan apa yang telah terjadi padanya. Ia berjalan dengan lesu ke arah River, yang membiarkan tangannya terulur, namun Eris tidak menyambut uluran tangannya.

"Aku minta maaf," kata River lambat-lambat. "Seharusnya aku memperingatkan keluargamu lebih awal. Luminox bilang pohon-pohon ini dirusak oleh kekuatan yang sangat jahat," kata River sambil bergidik. "Aku bisa merasakannya, mengalir dalam nadiku."

"Nggak, itu sama sekali bukan salahmu," potong Eris. Ia mengeluarkan Kunci Api dari sakunya, kemudian dibantingnya kunci itu ke tanah. Dengan emosi meluap-luap, diinjak-injaknya kunci tersebut. "Harusnya aku tidak pernah menemukan kunci terkutuk ini!" jeritnya. "Harusnya aku tidak pernah bertemu denganmu! Harusnya aku tetap di Skotlandia! Mereka pasti sekarang sudah... sudah..." Eris kembali jatuh dalam tangisan.

Elfworld: Kerajaan di Bawah BumiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang