Setelah percakapan tadi, Dira memutuskan untuk segera mandi. Malu sama ayam tetangga yang sudah kece sejak pagi sedangkan dia masih ada belek dan iler di mana-mana. Mandi Dira itu tidak butuh waktu lama. Cukup lima sampai sepuluh menit, sudah selesai. Tapi beda cerita kalau Dira harus keramas, bisa makan waktu lama karena dia keramas bukan sekedar keramas. Dira keramas yang ditemani dengan acara luluran lalu hair mask agar rambutnya tetap sehat.
Selesai mandi, Dira merasa lebih semangat. Rasanya segar. Dan Dira jadi tidak sabar untuk beraktifitas di minggu pagi menjelang siang ini. Dira menyapa Ezra yang tengah membersihkan motornya. Ia menyapa kakak lelakinya itu dengan wajah sumringah membuat Ezra curiga.
"Udah akur sama Juna?" tanyanya dengan tangan yang bergerak untuk menyabuni badan motornya.
Dira menggelengkan kepalanya. "Tadi dia telpon. Tapi habis itu bikin masalah lagi. Jadi, kita belum akur."
Ezra tergelak. Ia tidak habis pikir dengan zaman pacaran anak sekarang. Dia memang pernah SMA, tapi sepertinya, Ezra tidak seberlebihan Juna dan Dira. "Anjir, kayak main game aja lo berdua! Paling juga bubar nanti."
Dira langsung mendelik. Ia mendekati Ezra dan menabok punggung anak sulung dari Broto Wijaya itu. Ezra mengaduh kesakitan dan dengan sengaja mencipratkan air sabun dari spons yang ia gunakan untuk menyabuni bodi motornya.
"AAAA! GUE UDAH MANDI EJRA!" teriak Dira yang menarik perhatian mamanya dari dalam rumah. Wanita paruh baya itu langsung berlari keluar rumah untuk melihat apa yang membuat anaknya berteriak heboh.
Setelah berdiri di teras dan melihat dua anaknya, wanita itu langsung menggelengkan kepalanya dan berkacak pinggang. "EZRAAA, ADEKNYA JANGAN DINAKALIN!" teriak mama mereka yang membuat Ezra langsung berdiri dan menggelengkan kepalanya.
"Bukan Ezra, Ma! Dira aja yang kelakuannya kayak bayi monyet! Udah gede tapi masih aja bocah!" Ezra mengutarakan pembelaannya. Dira yang meraung-raung langsung berhenti. Ia kini gelagapan sendiri.
"Ma, bukan aku! Abang jahat! Dia doain aku sama Juna putus!" kini gantian Dira yang mengeluarkan haknya untuk membela diri. Mamanya kembali geleng-geleng kepala. Merasa tobat melihat kelakuan dua anaknya dimana tidak ada yang beres.
"Mampus, Dir! Mama marah!" kata Ezra saat mamanya malah masuk ke dalam rumah. Tidak melanjutkan perannya menjadi juri atas pertarungan Ezra dan Dira.
"Mampus lo, Bang!"
"Kita berdua mampus lebih tepatnya!"
"Ye, lo aja! Ngapain lo ngajak-ajak gue?"
Dira masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Ezra dan langsung menghampiri mamanya yang tengah berdiri di dekat meja makan. Dira memeluk mamanya dari belakang.
"Maaa, jangan marah, dong!" rayu Dira sembari tetap memeluk mamanya.
"Ma, ati-ati itu anaknya gelendotan kayak monyet," sahut Papa Dira yang baru masuk ke ruang makan. Dira melepaskan pelukannya, menatap papanya dengan pandangan sebal.
"Apaan, sih, Pa? Orang lagi ngebujukin Mama," kata Dira dan kembali merayu mamanya. Papanya hanya tertawa. Kemudian menjawil pundak Dira, menggoda anaknya.
"Ma, itu ada maunya pasti, Ma," kata Papa Dira kepada istrinya, lalu pergi keluar dari ruang makan untuk menonton televisi. Dira masih berusaha membujuk. Sampai akhirnya sang mama menggubrisnya.
"Iya, iya. Udah sana kamu keluar. Main atau ngapain. Ganggu Mama aja." Dira mengerucutkan bibirnya karena diusir. Ia langsung ke kamarnya dan tidur-tidur ayam di atas kasurnya sembari memainkan ponselnya. Di sana, ada pesan dari Rara.
Rara :: dir, mau ikut gue pergi, nggak?
Dira :: kemans?
Rara :: ke mcd. mau cobain matcha top.
Dira :: kuy, gue juga penasaran.
Rara :: okai. gue abis ini on the way.
Dira langsung turun dari kasurnya. Ia berjalan menuju lemari pakaiannya untuk berganti pakaian. Dira menukar baju rumahnya dengan skort warna pink dan atasan berupa kemeja warna hitam. Tak lupa, setelah selesai berganti pakaian, Dira menyapukan bedak serta lipstik favoritnya ke wajahnya. Dandanan simpel itu akhirnya selesai. Rambutnya ia biarkan tergerai jatuh ke punggungnya.
Dira mengambil tas kecilnya, memasukkan dompet serta ponselnya ke dalam tas itu. Selanjutnya, Dira keluar dari kamarnya dan menunggu kedatangan Rara di ruang keluarga sembari menonton televisi.
"Pa, minta sangu," ucap Dira sembari mengulurkan tangannya dengan posisi menengadah. Papanya yang sedang menonton televisi langsung mengerutkan dahinya. Memandang Dira dengan tatapan bertanya.
"Mau main sama Rara. Uang aku habis," jelas Dira kepada papanya.
"Minta sama Mama," balas papanya yang membuat Dira langsung mengerucutkan bibirnya. Tapi dia langsung berdiri. Berjalan menghampiri mamanya dan menodong wanita yang tengah sibuk membuat adonan bakwan itu.
"Ma, minta uang, dong. Mau main tapi nggak ada duit," kata Dira setelah duduk di kursi meja makan sebrang mamanya.
"Ya nggak usah main. Gitu aja ribet," balas mamanya dengan nada menolak permintaan Dira.
"Ish, nggak bisa gitu dong, Ma. Udah janjian sama Rara. Uang aku tinggal lima ribu itu di dompet," paksa Dira lagi. Mamanya langsung menatap Dira.
"Nggak lihat Mama lagi apa? Minta Papa sana!"
Jika begini, Dira sudah tidak berani membantah. Ia langsung minggir dan meninggalkan mamanya yang sepertinya sedang dalam mood tidak baik.
Dira kembali duduk di samping papanya. Menjatuhkan pantatnya ke sofa berwarna coklat itu. "Kenapa kamu?" tanya papanya saat melihat wajah lesu anaknya.
"Nggak dikasih duit Mama." Broto yang kasihan dengan anaknya langsung menyuruh Dira untuk mengambilkan dompetnya di kamar. Sekembalinya Dira, cewek itu langsung memberikan dompet itu kepada papanya.
Broto membuka dompetnya, menunjukkan dua lembar uang seratus ribuan. "Cukup, nggak?" tanyanya.
"Kurang, Pa." Dira memang anak kurang ajar. Padahal, itu lebih dari cukup.
"Ini buat kamu," kata papanya sembari memberikan selembar uang seratus ribuan.
"Pa?" tanya Dira saat melihat uang yang diberikan papanya.
"Kenapa?" tanya papanya tanpa dosa dan pura-pura tidak paham.
"Kok cuma seratus ribu?" Dira mempertanyakan kenapa hanya selembar uang seratus ribuan.
"Bukannya tadi kamu bilang kebanyakan?" Broto memang sengaja mengerjai anaknya. Jarang-jarang ia bisa seperti ini karena kesibukannya yang menyita waktu.
"Aku bilang kurang! Ih, si Papa!" pria dengan kumis yang masih setia di wajahnya itu hanya tertawa. Lalu meminta kembali uangnya dan memberi Dira lima lembar uang duapuluh ribuan.
"Udah. Itu ada banyak."
Dira langsung cemberut. Tetapi tak lupa ia mengucapkan terima kasih kepada papanya.
Dan omong-omong, Dira sudah biasa dengan kelakuan papanya yang seperti ini. Maka dari itu, Dira bisa sabar menghadapi sikap Juna yang aneh karena papanya sendiri juga terkadang, errr, menggemaskan.
to be continued
menjelang tauun baru nih. wish buat 2018 apaan? hehehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Relationship
Teen FictionTERBIT & TERSEDIA DI TOKO BUKU | Cerita ini bukan tentang relationship goals. Mereka tidak peduli apa itu relationship goals. Karena ini tentang hubungan Juna dan Dira. Hubungan mereka yang berbeda. Tidak terduga. Tentunya dengan gaya mereka sendiri...