17 | Minta Izin

20.8K 2.7K 345
                                    

Sehabis maghrib, satu minggu setelah tawaran yang Aje ajukan, Dira langsung menghampiri kedua orangtuanya. Dia ingin membicarakan masalah tawaran Aje yang menawarinya menjadi model lepas untuk brand clothing kakaknya.

Dira mendekat ke posisi mama dan papanya. Papanya yang menangkap sinyal-sinyal dari Dira, langsung bertanya, "Kenapa, Dek?" tanyanya yang membuat Dira langsung ang-eng-ang-eng.

"Kamu kenapa? Dimarahin guru?" kini gantian mamanya yang bertanya. Namun, Dira langsung menggelengkan kepalanya. Hei, masa kelam Dira hanya saat SMP dimana dia harus dihukum di depan kelas karena Dira suka ramai sendiri lalu mamanya akan mendapatkan omelan dari wali kelasnya saat mengambil rapor yang berakhir dengan ceramah panjang mamanya untuk dirinya yang Dira hafal sampai luar kepala, "Mama malu ambil rapor kamu! Besok-besok, Mama nggak mau ambil. Kamu ambil aja sendiri!"

Kenyataannya? Tetap saja mamanya yang akan mengambil rapor! Itu hanya zaman Dira SMP. Saat SMA, Dira tidak mengulanginya lagi. Ia menjadi murid yang lebih taat meskipun kadang melenceng sedikit.

"Itu, kakak kelas aku nawarin buat jadi model di usaha baju kakaknya. Boleh nggak, Ma, Pa?" ujar Dira pada akhirnya mengutarakan maksud sebenarnya.

"Baju apa?" pertanyaan mamanya keluar yang langsung Dira jelaskan dengan sejelas-jelasnya.

"Papa, sih, terserah Mama," balas papanya setelah mendengar penjelasan Dira. Pria itu melemparkan keputusan kepada istrinya.

"Yakin enggak bakal ganggu sekolah kamu? Kamu sekolah aja nilainya biasa aja. Gimana kalau ikut itu? Yakin Mama masih punya muka buat ambil rapot?" tanya mamanya yang membuat Dira langsung nyebut dan protes karena tidak terima.

"Astagfirullah, Mama! Dira enggak bodo-bodo amat kali. Dira masih pinter. Dapet peringkat lima belas."

"Ya udah, Mama terserah kamu. Asal sekolah tetep bener aja." Dira menganggukkan kepalanya dan tersenyum mendengar persetujuan mamanya yang otomatis juga izin dari papanya.

Dira meninggalkan kedua orangtuanya untuk kembali ke kamarnya. Kini, ia perlu memberitahu Juna perihal dirinya menjadi model ini. Sesampainya di dalam kamar, Dira langsung menelpon Juna. Panggilan pertama tidak diangkat. Dira berpikir, mungkin Juna lagi salat dan ia membiarkannya menunggu waktu salat usai.

Belum sampai 15 menit, ponsel Dira berbunyi yang berasal dari Juna. Dira segera menekan tombol hijau di layarnya. Mendekatkan batang ponsel itu ke telinganya dan menyapa Juna di ujung sana.

"Junnn," panggil Dira dari sambungan telponnya.

"Ya. Kenapa?"

"Gue mau bilang, kalau gue bakal jadi foto model."

Juna di ujung sana mengernyitkan dahinya. Tidak paham dengan ucapan Dira yang tiba-tiba sampai foto model.

"Maksud? Model apaan? Buku TTS?" tanya Juna yang benar-benar clueless dengan perkataan Dira.

Dira langsung mengumpat mendengar perkataan Juna, "Sial! Ya, bukanlah! Lo tahu Kak Aje, kan?"

Juna menjawab iya, lalu Dira menjelaskan semuanya dan mengatakan bahwa orangtuanya sudah setuju. Juna sendiri hanya mendengarkan sampai Dira selesai berbicara.

"Kalau gue minta buat lo nolak gimana?" komentarnya setelah Dira selesai bercerita. Mendengar ucapan Juna, Dira terdiam memikirkan maksud dari kata-kata pacarnya.

"Enggak, ah! Gue mau tetep coba. Kan, bisa buat pengalaman, Jun." Dira melontarkan jawabannya setelah menimbang-nimbang.

Juna di kamarnya, langsung mendesah, bukan desahan nafsu, melainkan sebal karena Dira tak mengindahkan permintaannya. "Enggak usahlah, Dir! Udah, lo jadi murid biasa aja. Jadi murid aja udah bego, gimana kalau mau jadi model juga?"

Juna langsung menjauhkan ponselnya dan mengumpat pada dirinya sendiri. Ia tidak mau Dira ikut-ikutan seperti itu. Tapi ia baru sadar, omongannya tadi salah.

"Maksud lo? Gue tahu kok kalau gue itu bego. Tapi, apa salah kalau gue mau mencoba sesuatu yang baru?" nada suara Dira sudah tidak enak. Cewek itu mulai tersulut emosi yang disebabkan oleh perkataan Juna.

"Apa harus sama Aje? Dia itu mau modus sama lo doang kali, Dir!" Juna yang tahu bagaimana gelagat cowok jika menyukai seorang cewek, tentu saja langsung mengutarakan pikirannya.

"Pikiran lo kenapa picik banget, sih, Jun? Dia nawarin gue baik-baik, tapi malah lo tuduh!" Dira mulai marah. Ia merasa kadar posesif Juna itu mulai berlebihan. Ia tidak suka sifat Juna yang seperti ini. Rasanya seperti burung yang ada di dalam kandang. Tidak bebas dan sumpek.

"Lo kok jadi belain dia? Gue ngasih tahu lo, Dir." Juna gantian membalasnya dengan emosi. Mendengar Dira tidak percaya padanya dan memihak cowok lain membuat egonya terluka.

"Lo bukan kasih tahu gue! Tapi lo nuduh Kak Aje dan lo juga nggak percaya sama gue, Jun!" Dira mengerang frustasi.

"Siapa yang enggak percaya sama lo? Kenapa jadi lo yang marah-marah? Gue bilangin, ya, Aje itu modus sama lo!" rentetan kalimat dari Juna membuat Dira semakin sebal dan marah.

"Apa, sih? Berisik banget!" Dira mulai malas dengan kata-kata Juna.

"Gue ngasih tahu lo!"

"Iya! Tapi lo itu menghambat gue banget tahu, nggak? Lo main sama cewek aja gue bebas!" sembur Dira mengigatkan Juna tentang masalah mereka setelah beberapa bulan jadian.

"Apa, sih? Kok sampai sana? Gue main juga enggak sengaja gara-gara buka bersama." Juna tidak terima. Lagi pula, itu acara buka bersama kelasnya saat SMP dan dia juga tidak ada niatan untuk main api dengan mantannya.

"Masalahnya dia mantan lo. Lo chat sama dia aja gue juga santai. Ini gue dibayar, dapet pengalaman, kenapa lo nyebelin banget?"

Dira kembali menyerang Juna. Dulu Dira tidak sengaja memainkan ponsel Juna dan membaca chat Juna dengan mantannya.

Iya, memang Juna berhenti membalasnya usai mereka bertukar pesan banyak. Namun, Dira saat ini sebal jika mengingat itu. Tanggapan Dira waktu itu santai, Juna-pun juga menjelaskan dan langsung menghapus obrolannya.

Tapi saat ini? Sifat Juna benar-benar menyebalkan! Aje menawarinya secara baik-baik dan Juna asal tuduh seperti itu. Mengapa Juna tidak bisa seperti dirinya?

Dira tahu kepercayaan itu mahal. Tetapi kepercayaan Juna tidak harus semahal ini, kan? Dira saja memberikannya kepada Juna. Mengapa Juna tidak mau memberikan kepercayaannya pada Dira? Padahal, kunci sebuah hubungan adalah kepercayaan. Dan saat ini, Juna tidak memilikinya.

"Kenapa jadi ungkit-ungkit itu? Itu juga udah dihapus. Baca sendiri juga, kan? Gue enggak macem-macem. Apa, sih? Bikin emosi aja!" 

"Harusnya gue yang ngomong gitu!"

"Lo yang dibilangin susah banget!"

"Udah! Kita udahan! Capek gue!"

to be continued

ehe. dalam hitungan bulan kalian bakal bisa meluk juna dalam bentuk cetak. info selebihnya bakal aku informasiin nanti. makasih.

Unexpected RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang