08

804 88 2
                                    


...

"Umma... aku ingin ikut denganmu. Bawa aku bersamamu. Hiks." Hongseok menyeka butiran bening itu dengan punggung tangannya. Dengan deraian air mata, ditaruhnya kembali potret ibunya ke atas meja. Hongseok menatap sebentar potret ibunya, lalu beranjak dari tempat duduknya dan berjalan perlahan menuju ranjang.

Terlalu lama menangis membuat matanya sedikit lelah dan mengantuk. Direbahkan tubuh kurusnya ke atas ranjang. Matanya terus menatap kosong ke arah langit-langit kamar. Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu. Buku diary nya. Sebuah buku yang menjadi saksi sekaligus teman curhatnya dalam perjalanan hidupnya selama ini.

Hongseok mengubah posisi tubuhnya menjadi miring. Rasa kantuk membuatnya malas untuk bangun meski hanya sekedar mengangkat kepalanya saja.

Diulurkan tangan kirinya ke sebuah laci samping ranjang. Jari-jari tangannya bekerjasama menarik gagang laci hingga terbuka. Tangannya terus meraba-raba isi laci itu mencari buku diary yang ia cari.
Setelah beberapa menit, gerak tangannya berhenti pada sebuah benda yang menurutnya itu adalah buku diary yang tengah ia cari. Hongseok meraih benda itu lalu memaksanya keluar. Kedua sudut bibirnya terangkat. Ya, dia tersenyum.

"Ah... akhirnya dapat juga." Hongseok tersenyum menang.

Sebuah buku yang sudah hampir tiga tahun bersamanya. Sebuah buku diary berhalaman tebal. Berwarna coklat tua dengan hiasan kancing berbentuk kepala kucing yang membuatnya tidak mudah untuk terbuka.

Buku diary itu adalah hadiah ulang tahun dari ayahnya tiga tahun yang lalu. Hongseok ingat benar, saat itu adiknya mendapatkan hadiah sebuah sepeda. Sedangkan dirinya hanya mendapatkan sebuah buku diary yang terbilang sangat berbeda jauh dengan apa yang ayahnya berikan pada adiknya, Wooseok.

Namun hal itu tak pernah menumbuhkan rasa iri ataupun dengki di hati Hongseok. Ia justru merasa bahagia mendapatkan hadiah itu. Sekecil apapun itu, itu akan menjadi sangat berharga, jika hadiah itu berasal dari ayahnya.
Setidaknya, ayahnya masih mengingat hari ulang tahunnya, itu sudah lebih dari cukup.

Dan sejak ia bisa menulis, Hongseok mulai menulis apapun yang ia lalui disetiap harinya. Entah itu bahagia, sedih, bahkan ia juga menulis nama setiap orang yang pernah mengisi perjalanan hidupnya selama ini.

Dibukanya lembar demi lembar buku diary itu. Bola matanya terus bergerak mengikuti baris demi baris tulisan yang telah menghiasi lembaran buku diary nya. Ia sesekali tersenyum, sesekali berubah muram.

Membaca setiap tulisan itu membuatnya teringat akan masa lalu. Dan bola matanya kini berhenti pada selembar foto yang tertempel di salah satu halaman. Hongseok terus menatapi foto itu. Dibelainya lembut foto itu dengan jarinya.

Nampak didalam foto itu dua bocah tengah bermain salju dengan tawa polosnya. Nayeon, Im Nayeon, teman masa kecilnya. Foto itu membuat Hongseok teringat akan masa lalunya saat masih bersama Nayeon.
...


Hongseok & Wooseok || PentagonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang