Katanya, kesedihan bisa ditutupi dengan senyuman. Nyatanya, meski Prilly tersenyum Ali pasti tahu kesedihan melalui matanya. Mata itu cerminan dari hati. Sekuat apa pun orang berusaha menutupi kesedihannya, tetap saja orang lain akan menyadarinya.
Karena mata seperti hati yang tidak bisa berbohong.
Siang terik seperti ini Prilly melamun di taman samping rumahnya, tanpa menyadari ada sepasang mata yang sejak tadi memperhatikannya. Prilly merasa buku di tangannya sudah tidak menarik lagi karena mendadak tertarik melihat kolam ikan yang tak jauh dari posisinya, melihat dua ikan yang berenang bersamaan seolah mengejeknya, kapan ia bisa berdua sama Ali seperti itu?
Ali memang memberikan harapan besar sekaligus memberikan rasa malu pada Prilly seolah dia adalah wanita pengemis cinta. Tapi, salahkah dia mendapatkan cinta dari suaminya sendiri? Memang seharusnya dia mendapatkannya bukan? Kalaupun saat itu dia tidak meminta, apakah Ali tidak akan pernah memberikan cintanya? Mau sampai kapan?
Dan mau sampai kapan Prilly menunggu cinta itu dari Ali?
Ali berdiri di sana, berdiri sejauh lima meter dari posisi Prilly. Dengan dua tangan yang dimasukkan ke saku celana, lelaki itu mengamati Prilly sejak tadi, melihat air mata yang lolos dari matanya.
"Kenapa menangis?" Tanya Ali begitu saja, dan sepertinya mengagetkan Prilly. Terburu-buru, Prilly menghapus air matanya dan menoleh melihat Ali.
"Lho? Kok kamu di sini? Tumben jam segini udah pulang? Gak bisa jauh dari aku ya? Tau banget nih aku, kamu kan gak lihat aku satu detik aja udah kangen berat."
"Kenapa menangis?" Ali mengulang pertanyaannya. Masa bodoh dengan kata-kata Prilly yang memperlihatkan dirinya baik-baik saja, padahal nyatanya ... sebaliknya.
Prilly menghela napas dan menyunggingkan senyum, "Aku cuma ..."
"Cuma apa? Mau buat alasan apa lagi? Tikus lewat pakai bra?"
Untuk sejenak Prilly tercenung lalu tertawa geli, "Kamu bisa bercanda juga ya!"
"Aku hanya mengatakan apa yang kamu katakan sebelumnya." Lelaki itu terlihat dingin melangkah menghampiri Prilly.
Terkadang Prilly iri dengan pasangan lain, yang tertawa, terbuka terhadap satu sama lain, hingga membicarakan banyak hal. Semua itu tidak dia alami, Ali terlalu introvert dalam berkata. Terkadang Prilly tidak tahu apa isi hati lelaki itu serta pikirannya.
"Kamu kenapa udah pulang? Ini masih siang."
Ali berlutut menyamai tingginya dengan Prilly yang duduk di kursi roda.
"Memikirkan apa?" Tanya Ali tak mengindahkan perkataan Prilly, "Aku pikir air mata kamu itu sangat berharga kenapa kamu membuangnya?" Imbuhnya. Ali bertanya seperti itu, penasaran kenapa akhir-akhir ini Prilly selalu terlihat sedih.
"Biasalah ... anak gadis, wajar suka galau-galauan."
Ali yang semula menatap Prilly biasa kini pun menajam.
"Iya, maaf," Prilly menundukkan kepalanya, "Aku memikirkan kamu."
"Kenapa memikirkan aku?" Tatapan Ali sedikit melembut.
"Hah? Siapa yang memikirkan kamu? Cie GR!"
Mendengus. Itu yang Ali lakukan selain ekspresi datar yang ia perlihatkan.
"Maaf, aku bercanda, hehe."
Ali terdiam menatap Prilly selama beberapa detik tepat ke iris cokelatnya yang sangat indah. Lalu mengulurkan tangan di hadapan Prilly dengan posisi menengadah. Prilly pun menunduk menatap tangan Ali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry With Boss
FanfictionHanya karena kesalahan yang bahkan tak Prilly sadari membuat Prilly terpaksa menandatangani perjanjian tertulis meski sebenarnya hatinya tak yakin. Ternyata Bos itu sangat pintar mencari cara agar Prilly masuk ke dalam hidupnya. Lalu, apa jadinya ji...