Dua menit saja bagi Ali sangat lama. Lalu, bagaimana dengan dua minggu? Ali merasa hidupnya sangat hampa tanpa adanya suara Prilly yang selalu mengusiknya, suaranya yang berisik tetapi mampu membuatnya tersenyum dan tertawa tanpa sadar. Entah kapan dia bisa mendengarnya lagi. Sampai saat ini pun Prilly belum sadarkan diri.
Di rumah sakit itu, Ali harus berusaha menghalau rasa takut yang terus menghampirinya. Hampir setiap hari, dia mendengar kabar meninggal pasien dari ruangan lain. Terakhir kali dia melihat seorang lelaki menangis karena istrinya yang meninggal. Ali hampir gila memikirkan Prilly. Karena Ali sangat tidak ingin mengalami hal buruk seperti lelaki itu.
"Ali, pulanglah. Kamu perlu istirahat, apalagi besok kamu harus berangkat ke Australia. Banyak hal yang harus kamu siapkan untuk tinggal beberapa hari di sana."
Sebenarnya Ali tidak ingin pergi. Dia ingin selalu menemani Prilly di ruangan itu. Bahkan, sudah dua minggu ini dia menyelesaikan pekerjaan di ruangan Prilly sambil terus mengawasinya. Namun, kali ini dia diharuskan berangkat ke Australia oleh kolega bisnisnya. Mau tidak mau dia akan meninggalkan Prilly selama beberapa hari dengan berat hati.
"Kamu tenang saja, Mama tidak akan meninggalkan Prilly. Mama akan terus menjaganya seperti yang kamu lakukan selama ini. Mama janji mengabari kamu terus selama kamu berada di Australia."
Ali pun mengangguk pelan sambil menyentuh tangan Mama Dian yang ada di bahunya. "Terimakasih. Kabari aku terus apa pun yang terjadi."
"Ya, Son. Kamu fokus bekerja. Di sini banyak yang menjaga Prilly."
"Bagaimanapun juga aku takut Jevan melarikan diri lagi dari penjara."
"Tidak. Papa kamu sudah mengurus Jevan. Dia segera di hukum mati."
Setelah apa yang di alami Prilly hari itu, anak buah Afraz mencari-cari Jevan sampai berhasil ditangkap dan kembali dijebloskan ke dalam penjara. Ali tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika Jevan kembali meloloskan diri, dan mencelakai Prilly untuk ke sekian kalinya. Maka dari itu, sebelum dia berangkat ke Australia, dia memperketat pengawalan di rumah sakit itu. Dibantu oleh anak buah Papa Dani, yang membencinya sejak diberitahu kejadian pahit yang menimpa Prilly. Majikan mereka benci padanya, maka tidak heran jika anak buahnya itu ikut benci.
Setelah mengamati wajah Prilly, Ali berdiri meninggalkan kursinya. Mengambil jas yang tersampir di kepala kursi, dan menatap Dian yang sedang tersenyum menenangkan. "Aku pergi dulu."
"Hati-hati." Dian pun memeluk Ali sebentar dan membiarkan putra sulungnya itu pergi untuk mengurus persiapannya sebelum berangkat ke Australia.
Sayangnya, tepat saat Ali pergi, Prilly membuka matanya.
Terkadang, itu sangat menyakitkan.
***
Baru tiga hari Ali tidak melihat Prilly, rasa cemas selalu menghampirinya. Selain itu, dia sudah merindukannya. Tidak tahu bagaimana keadaan Prilly saat ini. Kesibukan di Australia membuat Ali sulit menghubungi keluarganya di Indonesia. Dia hanya mendapatkan kabar melalui Leo yang selalu mengikutinya ke mana saja. Leo hanya menyampaikan kesehatan Prilly jauh lebih baik. Setidaknya menambah semangat Ali untuk menyelesaikan pekerjaannya.
"Bos, punya waktu sebentar buat nerima telepon dari keluarga gak?" tanya Leo saat Ali sedang sibuknya dengan tumpukan berkas di atas meja.
Ali hanya melirik Leo sebentar dan kembali fokus bekerja. "Katakan saja bagaimana keadaan Prilly saat ini? Apa dia sudah siuman?"
"Dia--,"
"Ali."
Suara itu. Ali membulatkan matanya menatap Leo. Tidak jauh dari posisinya, Leo hanya menyengir sambil menggoyangkan ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry With Boss
FanfictionHanya karena kesalahan yang bahkan tak Prilly sadari membuat Prilly terpaksa menandatangani perjanjian tertulis meski sebenarnya hatinya tak yakin. Ternyata Bos itu sangat pintar mencari cara agar Prilly masuk ke dalam hidupnya. Lalu, apa jadinya ji...