Teruntuk dia, yang selalu menyakiti.
___________________________________
Sejak hari itu, hari di mana Prilly merasa sangat kecewa dengan Ali, rumah Ali terasa sepi. Tidak ada keceriaan Prilly yang membuat keluarga Ali bahkan seluruh pelayannya tertawa bahagia karena ketengilannya. Prilly berubah 180 derajat, dia benar-benar menjadi Natasha.
Ali berdiri di ambang pintu, mengamati Prilly yang duduk di sofa kamarnya. Prilly terlihat sibuk dengan majalah busana yang dia lihat, sambil sesekali mengerutkan dahi, entah karena gambar yang dilihat atau karena merasa pusing. Ali tahu Prilly jarang sekali makan hingga wajahnya itu selalu terlihat pucat.
Sudah beberapa minggu ini Ali didiamkan Prilly, bahkan hari itu saja saat ia mengikuti mobil Prilly sampai rumah Ayahnya, Prilly seperti menganggap Ali tidak ada di sekitarnya. Dan sekeras apa pun usaha Ali ingin meluruskan kesalahpahaman, Prilly tidak pernah mau mendengarkannya.
Hari ini saja, Ali tidak berangkat ke kantor. Dia ingin meluruskan kesalahpahaman lagi, dengan harapan Prilly mau mendengarkannya kali ini. Dia ingin Prilly tahu, bahwa yang didengar Prilly di kantor dulu itu tidak benar.
"Kamu belum sarapan. Ayo turun bersamaku," ucap Ali, sama sekali tidak membuat Prilly menutup majalahnya. "Kamu dengar aku?"
"Aku gak lapar," jawab Prilly tak acuh. Matanya terus terpancang pada majalah. Ali tidak tahu bagaimana menjelaskannya pada gadis itu sementara sikapnya saja berubah seperti itu.
"Kalau begitu aku tidak akan pergi dari kamar ini."
"Terserah."
Mata tajam Ali pun terarah pada sesuatu yang tidak terlihat di dinding. Kata 'terserah' yang dilontarkan Prilly bukan pertama kalinya dia dengar. Dia tidak suka, dia ingin marah tapi tidak ingin membuat Prilly tambah marah.
"Sudah cukup," gumam Ali. Masuk mendekati Prilly dan berlutut di hadapannya. Ali merebut majalah dari tangan Prilly meletakkannya di meja. Prilly menaikkan satu alisnya saat mata hazelnya itu membalas tatapan Ali.
"Natasha tidak terlalu pendiam seperti ini. Kamu pendiam bukan karena ingin sama seperti Natasha, melainkan karena marah denganku."
Prilly mengalihkan tatapannya itu.
"Apa yang kamu dengar di kantor itu--"
"Udah berapa kali aku bilang, aku gak mau bahas itu!" Prilly menatap Ali tajam.
"Kamu tidak pernah memberikan aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya!" ucap Ali dengan tegas.
"Semua udah jelas!" Prilly mengalihkan tatapannya lagi. "Aku kamu anggap Natasha," suaranya terdengar serak. "Aku gak mau bicara apa pun sama kamu lagi. Kamu urus aja diri kamu sendiri." Prilly bangun meninggalkan Ali.
Ali hilang kesabaran. "Kalau memang seperti itu yang kamu pikirkan, maka kuanggap benar. Aku memang menganggapmu Natasha. Jadi, aku tidak perlu menjelaskan lagi!"
Langkah kaki Prilly berhenti, berdiri membelakangi Ali dengan tetesan air mata yang mengalir melewati pipinya. Ucapan Ali yang terdengar dingin penuh kemarahan membuat hatinya terasa sakit lagi. Ekspresi Prilly pun berubah mengeras, dengan segera menghapus air matanya saat Ali berdiri di hadapannya.
"Aku membuang waktuku berbicara denganmu, kamu tidak pernah mendengarkan apa yang kukatakan, tidak pernah memberikanku kesempatan menjelaskan apa yang sebenarnya yang ada di pikiranku. Sudah cukup aku bicara selama ini, kamu tetap keras kepala dengan pilihanmu, menjadi pendiam seperti Natasha. Padahal, kamu dan Natasha itu berbeda. Natasha tidak sependiam ini, dan perlu kamu ketahui Natasha lebih baik dari kamu. Jika kamu terus mengira aku menganggapmu Natasha, maka kamu benar, selama ini aku membayangimu Natasha, bahkan pagi itu saat kita bersatu, aku membayangi Natasha, seperti yang kamu katakan sebelumnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry With Boss
FanfictionHanya karena kesalahan yang bahkan tak Prilly sadari membuat Prilly terpaksa menandatangani perjanjian tertulis meski sebenarnya hatinya tak yakin. Ternyata Bos itu sangat pintar mencari cara agar Prilly masuk ke dalam hidupnya. Lalu, apa jadinya ji...