Tiga lelaki ini begitu kontras, pikir Prilly. Yang kanan terlihat ramah, sementara yang tengah terlihat dingin dan kejam, dan yang kiri luar biasa ramahnya bahkan kelewat banyak berkata. Siapa lagi kalau bukan Verrel, Ali, dan Leo. Ketiga lelaki itu berjalan beriringan ke dalam mansion dengan segala pesonanya.
Mereka bertiga memutuskan membicarakan soal bisnis di rumah Ali. Dengan begitu Ali bisa menjaga Prilly, memastikan Jevan tidak datang dan melakukan sesuatu yang membahayakan Prilly.
"Mowning sayang." Tadinya, Prilly harap Ali yang mengucapkannya tetapi bukan, Leo yang mengucapkannya sambil senyum.
Prilly hanya tersenyum tanpa minat ke arah lelaki tengil itu. Lantas apa kabar dengannya? Dirinya juga tengil bukan?
"Kusut banget mukanya. Kenapa sayang?" Tanya Leo kemudian.
"Bisa diam?" ucap Ali dingin menghentikan Leo. Ali menatap Prilly yang berdiri dengan kruknya di ruang tengah, "Ada apa?"
"Gak, gak ada apa-apa," jawab Prilly, kentara sekali sedang berbohong.
"Neng kenapa? Marah ya Aa datang kemari? Atau kangen sama Aa? Padahal Aa baru pergi tadi pagi Neng." Prilly memutar bola matanya mendengar Leo bicara.
Verrel mengamati Prilly dengan tersenyum meski sebenarnya dia merasa khawatir dengan kondisi kaki Prilly, belum lagi bahaya yang mengancamnya.
Verrel ini sebenarnya teman Ali saat sekolah di menengah atas dulu. Memang Ali disebut-sebut tidak punya teman, tapi Verrel mengenal Ali dan sempat menjadi teman sebangku, entah Ali menganggapnya ada atau tidak, tapi Verrel tetap menganggap Ali temannya, bahkan sahabat hingga mereka menjadi rekan bisnis.
Selain itu, Verrel adalah sepupu kandung Prilly, tanpa Prilly ketahui. Dekat dengan Prilly atau tidak, Ali tidak berhak cemburu.
"Bagaimana keadaanmu, Prilly?" Tanya Verrel begitu saja. Prilly tersenyum tipis menatap Verrel, beralih dari Leo juga Ali.
"Maaf karena aku tidak sempat menjengukmu di rumah sakit," tambah Verrel. Ada nada sesal di dalamnya.
"Aku baik, Pak Verrel. Gak apa-apa kok Bapak gak jenguk yang penting Bapak udah bilang ke Mrs. Angela kalau sementara aku gak kerja dulu mendesain gaun."
Tersenyum. Senyum yang terus mengembang dan terlihat tulus. Tapi, mengapa hati Ali seakan tercubit ya? Verrel itu sepupu Prilly.
Tanpa Ali tahu, keceriaan Prilly yang selama ini ditunjukkan di hadapannya, sebagian besar hanya menutupi kesedihan, bukan kebahagiaan alami.
"Kalian ke sini mau ngomongin pekerjaan kan? Mau aku buatkan teh atau kopi?"
"Ada banyak pelayan di sini," kata Ali seolah tidak mau Prilly yang mengerjakan itu.
"Biar aku aja." Seperti biasa Prilly memaksa.
Verrel pun berkata, "Kalau begitu buatkan aku secangkir kopi hitam yang kental sedikit gula."
"Oke Pak Verrel. Pakai sianida gak?" Prilly terkekeh akan penawarannya sendiri.
"Boleh ..." Prilly terkejut mendengar jawaban Verrel. Sejurus kemudian Verrel tertawa. "Bercanda."
"Gak bercanda juga gak apa-apa kok Pak. Saya rela campurin sianida ke dalam kopi daripada ke dalam cinta, bisa ribet."
"Ada-ada aja kamu ya," Verrel tertawa bersama Prilly.
"Kalau Pak Leo mau minum apa?"
Leo memberengut merasa dikacangi sejak tadi.
"Pak Leo?" Tegur Prilly pelan. Leo pun mengerjapkan matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marry With Boss
FanfictionHanya karena kesalahan yang bahkan tak Prilly sadari membuat Prilly terpaksa menandatangani perjanjian tertulis meski sebenarnya hatinya tak yakin. Ternyata Bos itu sangat pintar mencari cara agar Prilly masuk ke dalam hidupnya. Lalu, apa jadinya ji...