Melakukan sebuah liputan investigasi sebenarnya bukan hal baru untukku. Saat tahun kedua bekerja, aku pernah ditugaskan menginvestigasi salah satu anggota legislatif yang diduga korupsi dalam jumlah yang dapat membuat mulut orang-orang menganga lebar. Liputan yang kulakukan tidak membutuhkan waktu yang sebentar. Setahun lebih aku berusaha mengorek informasi mengenai anggota legislatif tersebut. Lega rasanya saat berhasil mengungkap kasus yang tidak banyak diketahui orang lain.
Meski porsiku dalam mengungkap kasus itu tidak besar, mengingat aku yang masih junior, tetap saja itu membuatku bangga. Aku senang berada dalam sebuah tim yang berhasil mengungkap fakta yang tersembunyi. Melakukan sebuah pelaporan mendalam tentu tidak bisa dilakukan sendirian. Butuh kerjasama tim agar kasus itu dapat terselesaikan dan membuat tanya publik terjawab hingga ke akarnya.
Dan kali ini, aku kembali ditugaskan untuk melakukan sebuah investigasi pada sebuah perusahaan yang disinyalir melakukan perdagangan gelap. Aku sedikit syok mendapati namaku berada dalam tim yang akan meliput tersebut. Aku ingin menyanggah, mengundurkan diri, tapi hasil rapat tersebut sudah fix dan tidak dapat diganggu gugat lagi.
"Lo kenapa? Kusut banget."
Aster menyentuh pelan lenganku saat aku melangkah gontai meninggalkan ruang rapat. Aku menghela napas panjang. Pikiranku kini bercabang; liputan investigasi yang akan kulakukan, juga kondisi kesehatan Mama yang kini memburuk.
"As, boleh nggak gue diganti sama anak lain buat ngeliput investigasi ini?"
Aster menghentikan langkahnya. Menatapku bingung.
"Lo nggak bisa?" tanyanya. "Kenapa tadi nggak bilang? Mungkin Pak Bagus bisa langsung nyari nama lain kalau lo nggak bisa."
Lagi, aku mendesah. Dengan gerakan pelan aku duduk di bangku panjang yang ada di koridor. Aster yang masih menuntut penjelasanku ikut duduk di bangku tersebut. Matanya tak lepas sedetik pun dari wajahku.
Aku mendesah. Bingung harus bagaimana memulai untuk bercerita pada Aster.
"Mama sakit, jantungnya kumat. Gue udah lama gak ngelihat Mama, dan gue ngerasa kalau kali ini gue gak nengokin Mama, gue bakal jadi anak yang durhaka banget." Aku memijat dahiku yang terasa mulai pusing.
Walau tak melihat, aku dapat merasakan perubahan ekspresi di wajah Aster. Wanita itu menggenggam tanganku, memberi kekuatan.
"Di satu sisi gue pengen banget ikut andil dalam investigasi ini. Tapi, di sisi lain, gue pengen tau perkembangan kesehatan Mama. Lo tau sendiri, ngelakuin investigasi itu waktunya gak bisa ditebak. Kalau lagi untung, ya kita bisa cepet nyelesainnya. Kalau buntung, bisa bertahun-tahun kita ngulik satu kasus aja."
Aster menepuk punggung tanganku. Ikut memberikan simpatinya.
"Kalau misalnya lo gak ngerasa yakin bisa melakukan investigasi ini, gue bakal bilang sama Pak Bagus. Kali aja dia ada usulan nama lain yang bisa gantiin elo buat liputan nanti."
Aku menatap Aster yang tersenyum padaku. Kubalas senyuman itu dengan senyum penuh terima kasih.
"Thanks, As. Gue gak tau udah berapa sering lo nolongin gue kayak gini," kataku sungguh-sungguh.
Aster langsung menarik tangannya. Melipat kedua tangannya di depan dada sambil memanyunkan bibirnya.
"Gue nolongin elo gak gratis ya ..."
Aku tertawa, mengangguk mengerti.
"Iya, iya, coffe latte kayak biasa kan?" Aku menyebutkan salah satu kopi kesukaan Aster. Minuman yang sering aku belikan untuknya sebagai sogokan.
Aster tersenyum lebar sebelum bangkit berdiri. Ditepuknya pipiku pelan sambil nyengir.
"Good girl! Gue balik ke ruangan dulu ya, ada yang mau gue urus."
KAMU SEDANG MEMBACA
(END) After That Month
Action"Manusia tidak bisa menghindari kematian dan cinta." Navy Julianarya, seorang jurnalis yang ditugaskan melakukan sebuah investigasi di salah satu perusahaan yang dicurigai melakukan perdagangan gelap. Siapa yang menyangka, hal ini justru mengubah ja...