Bab Dua Puluh Lima

1.7K 158 0
                                    

Saya tahu Navy masih melakukan investigasi terhadap Silver Group. Meski sudah seringkali saya melarang, gadis itu tetap menganggap peringatan saya sebagai angin lalu. Dia bahkan menganggap teror yang ia terima adalah salah satu bagian masa lalunya.

"Toh sekarang gue nggak pernah diteror lagi. Nggak usah parno deh jadi orang. Gue aja nyantai-nyantai aja."

Sesering apa pun Navy membantah saya, makan sesering itu pula saya akan diam-diam melindungi gadis itu dari jauh. Seperti saat ini, saya mengamati dari dalam mobil sosok Navy yang tengah mencari informasi di sebuah perumahan tempat George pernah tinggal di awal-awal kedatangannya di negeri ini.

Gadis itu tampak begitu serius mendengar cerita dari seseorang yang ia temui di salah satu rumah. Bukan kali ini saja saya melihat tampang serius Navy. Setiap kali mengorek informasi dari orang yang sengaja dan tidak sengaja ia temui, gadis itu akan memasang tampang serius. Tak jarang pula menampilkan ekspresi santai, sesuai dengan isi percakapan yang terjadi.

Ponsel di saku celana saya bergetar bersamaan dengan berakhirnya percakapan antara Navy dan seorang ibu-ibu yang baru ia korek informasinya. Sebuah nama di layar ponsel saya membuat saya mau tidak mau segera menerima panggilan itu.

"Saya memang tidak pernah stay lama di kantor," jawab saya saat si penelpon menanyakan posisi keberadaan saya.

"Ada hal penting yang harus lo ketahui." Rizal di seberang sana berujar dengan gusar

"Seberapa penting?"

"Ini menyangkut George. Juga Navy. Pokoknya gue tunggu lo di kantor lo sekarang!"

Rizal langsung memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Dia sengaja melakukannya supaya saya tidak membalas kata-katanya. Saya mengeram kesal, perlahan suara mesin mobil yang dihidupkan menyapa gendang telinga saya.

Sebelum melajukan mobil, saya menyempatkan menoleh pada Navy yang menuju mobilnya. Setelah memastikan tidak ada hal-hal mencurigakan di sekitar gadis itu, barulah saya melajukan mobil, meninggalkan perumahan itu dengan kecepatan penuh.

***

"Ada yang aneh di sini."

Saya mengerutkan dahi saat Rizal menunjukkan sesuatu di laptopnya pada saya. Sebuah tayangan yang sepertinya diambil dari kamera CCTV yang terpasang di jalanan langsung tertangkap mata saya.

"Di sini tidak terlihat pergerakan dari George, tapi di menit ke empat puluh lima, tiba-tiba George berada di dekat taman ini. Tidak mungkin manusia bisa bergerak secepat itu."

Selagi Rizal menjelaskan panjang lebar mengenai temuannya, mata saya tidak sedetik pun lepas dari sosok George. Lelaki itu masih terlihat gagah di usianya yang sudah tidak muda lagi.

Saya mengeram tertahan saat melihat seringaian terukir jelas di wajah lelaki tua itu.

"Jangan pernah mencampuradukkan urusan perasaan dengan pekerjaan."

Kata-kata Rizal langsung membuat saya menoleh. Lelaki itu mengendikkan bahu tanpa rasa bersalah.

"Itu kata-kata yang selalu Drew ucapkan. Terlebih setelah dia tahu lo ada perasaan sama Ann."

Saya memilih bungkam. Tangan saya yang berada di atas pangkuan terkepal dengan sendirinya saat Rizal mengucapkan nama Ann.

Saya memejamkan mata saat perih itu kembali menyayat hati saya.

"Gue tahu lo masih belum bisa terima. Tapi, bagaimanapun juga lo harus terima kenyataan yang sudah terjadi."

"Kamu tahu apa?" desis saya.

(END) After That MonthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang