"Ini terakhir kalinya saya memperingati kamu untuk berhenti melakukan investigasi terhadap Silver Group."
Navy yang baru memegang gagang pintu kamarnya langsung menoleh. Keningnya berkerut setelah kata-kata itu saya ucapkan.
"Atas dasar apa lo ngelarang gue?"
Navy berkacak pinggang. Menatap saya dengan mata melotot tajam.
"Saya berhak karena saya suami kamu, dan juga karena liputan kamu ini membahayakan keselamatan kamu."
"Lo sinting! Setiap kerjaan bisa membahayakan keselamatan kita. Kalau udah takdirnya celaka, ya celaka. Lo nggak berhak ngelarang gue buat berhenti dari kerjaan gue ini."
"Saya suami kamu!" kata saya penuh penekanan.
"Jadi kenapa kalau lo suami gue? Urusin aja kerjaan lo! Nggak usah ngurusin kerjaan gue!"
"Kerjaan saya berhubungan dengan pekerjaan kamu."
Meski saya mengucapkan dengan pelan, saya tahu Navy mendengarnya. Navy yang semula sudah berbalik dan membuka pintu kamarnya langsung bergeming dengan tangan yang masih melekat di handel pintu.
"Maksud lo apa?"
"Silver Group itu berbahaya, Nav. Kamu dan teman-temanmu seharusnya berhenti sejak teror itu kalian dapatkan."
"Gue nggak diteror!" Navy masih terus membantah. "Gue nggak diteror. Itu cuma kerjaan orang iseng aja."
"Kamu tidak tahu kalau Silver Group memiliki koneksi dengan orang-orang kriminal. Kamu tidak tahu sebenarnya pemilik Silver Group itu orang seperti apa."
"Gue tahu! Gue udah dapetin data tentang George. Si pemilik Silver Group itu. Jadi tolong, jangan menghalangi pekerjaan gue."
"Tolong berhenti. Nyawa kamu taruhannya jika kamu masih mau meneruskan investigasi kamu."
Navy tergelak. Sorot matanya seolah mengatakan bahwa saya hanya membual saja.
"Asal lo tahu, gue nggak akan dengan mudahnya mengakhiri apa yang sudah gue mulai."
"Termasuk jika hal itu mengancam nyawa kamu?"
"Ya. Termasuk jika nyawa gue taruhannya."
"Kamu perempuan yang sangat keras kepala."
"Gue tahu. Tanpa perlu lo bilang juga gue tahu kalau gue keras kepala."
"Ini terakhir kalinya saya memperingatkan kamu," kata saya lelah. "Terserah kamu mau menuruti larangan saya atau tidak."
"Ini pekerjaan gue, dan gue nggak bakal berhenti."
"Terserah kamu. Saya sudah sering memperingatkan. Jangan menyesal jika suatu hari kamu sadar ucapan saya benar adanya."
"Ya, ya, ya. Terima kasih atas perhatiannya, Bapak Satria Augusta."
Kali ini saya membiarkan Navy masuk ke kamarnya. Saya memilih bungkam, tidak menahan Navy dengan kata-kata saya lagi.
Dengan gusar saya mengusap wajah. Memikirkan George dan kemungkinan yang akan terjadi membuat kepala saya mendadak pusing.
Saya maju beberapa langkah hingga berhenti tepat di depan pintu kamar Navy yang tertutup rapat. Saya mendesah lelah. Tidak tahu lagi harus bagaimana agar Navy sadar jika ia dalam bahaya.
Pintu di depan saya tidak terbuka sama sekali, meski sudah sekian menit berlalu semenjak saya berdiri di sana.
"Kamu tidak tahu betapa berbahayanya George. Saya tidak ingin kejadian yang sama akan terulang untuk kedua kalinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
(END) After That Month
Action"Manusia tidak bisa menghindari kematian dan cinta." Navy Julianarya, seorang jurnalis yang ditugaskan melakukan sebuah investigasi di salah satu perusahaan yang dicurigai melakukan perdagangan gelap. Siapa yang menyangka, hal ini justru mengubah ja...