Bab Enam

2.6K 261 22
                                    

Selama di perjalanan, baik aku ataupun Rizal tidak ada yang membuka suara. Hening tampaknya setia menemani kami hingga akhirnya mobil yang dikemudikan Rizal berhenti di salah satu kafe. Bahkan hingga akhirnya kami masuk ke dalam kafe yang cukup ramai itu, Rizal masih enggan untuk berbicara.

Aku masih tidak mengerti kenapa Mama begitu senang dengan kehadiran Rizal. Bahkan saat di rumah sakit tadi pun, Mama selalu mengajak Rizal mengobrol. Tak mengacuhkan aku yang hanya bisa menatap mereka berdua dalam diam.

“Navy gak terlalu suka makanan pedas, Zal. Nanti jangan ajak dia makan di tempat yang menyediakan sambal, ya.”

Aku melengos saat Rizal menoleh padaku. Dapat kulihat senyum tipis tergaris di wajahnya.

“Iya, Tan. Nanti kami gak makan di tempat yang menyediakan sambal.”

Dan ternyata Rizal menepati ucapannya. Lelaki itu membawaku ke sebuah kafe yang menyediakan bermacam pastry dan aneka cokelat serta kopi racikan. Aroma biji kopi bercampur manisnya cokelat langsung menyapa indra penciumanku. Kali ini, aku berterima kasih karena Rizal membawaku ke tempat yang cozy seperti ini.

Tak lama setelah kami memilih duduk di pojok ruangan sebelah kiri, seorang pramusaji menghampiri kami dengan dua buku menu di tangannya. Begitu buku menu itu mendarat di hadapannya, Rizal langsung membolak-balik halamannya dengan penuh minat.

“Kamu mau pesan apa?” tanyanya tanpa sedikitpun mengalihkan pandang dari buku menu.

Ditanyai seperti itu membuatku langsung membuka buku menu. Liurku hampir menetes melihat gambar makanan yang begitu menggoda. Apalagi saat melihat lelehan cokelat di salah satu gambar. Tanpa pikir panjang, aku langsung menunjuk gambar itu dengan antusias.

“Aku pesan yang ini satu sama air mineral aja, Mbak.” Setelah menyebutkan pesananku aku melempar pandang ke luar jendela. Lagi-lagi pilihan Rizal membuatku senang. Tepat di hadapanku kini terdapat taman kecil dengan berbagai macam bunga beraneka bentuk.

Aku terlalu hanyut dengan pemandangan di hadapanku hingga tidak menyadari Rizal sudah memesan makanannya. Bahkan pramusaji tadi sudah berlalu dari hadapan kami.

Tak lama kudengar Rizal berdeham pelan. Upayanya untuk menarik perhatianku itu cukup berhasil karena kini aku sepenuhnya menoleh padanya. Saat tubuhku benar-benar menghadapnya, ia langsung menatapku lurus.

“Sudah berapa lama kamu bekerja?” tanyanya tanpa basa-basi.
Aku mengernyit, mencoba mencari sesuatu di wajahnya yang berakhir dengan kenihilan.

“Sudah lima tahun. Kamu sendiri, sudah berapa lama kerja?”
Rizal menegakkan bahunya dengan mata yang tetap tertuju padaku. Kuakui pahatan di wajahya cukup sempurna. Meski bukan termasuk dalam kategori lelaki berwajah tampan, Rizal memiliki daya tarik tersendiri yang membuat wanita tidak akan bosan menatapnya. Termasuk aku.

Kumis tipisnya yang begitu sesuai dengan bibir sensualnya. Pun dengan mata sipit yang menyorotkan tatapan sendu namun tegas itu. Aku yakin, siapapun wanita yang mampu menaklukan hatinya akan merasa beruntung.

Untuk sesaat aku terpana. Suaranya bagai bisikan angin, mengalun memasuki gendang telingaku.

“Di perusahaanku yang sekarang, baru tiga tahun. Sebelumnya aku sempat kerja di berbagai tempat. Jadi kuli panggul di pasar pun pernah.” Rizal mengulas senyum tipis sebagai akhir dari jawabannya.

Saat pesanan kami datang, Rizal langsung menyesap kopi hitamnya. Sesekali aku memergokinya tengah mencuri pandang padaku.

“Kenapa kamu memilih jadi jurnalis?” Rizal kembali bertanya. Kali ini aku tidak langsung menjawab pertanyaan. Tatapanku mengarah lurus pada jemarinya yang tengah meletakkan gelas ke atas tatakan. Seolah kegiatannya itu lebih menarik ketimbang pertanyaannya.

(END) After That MonthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang