"Nav ... Navy? Sayang?"
Suara itu berulang kali mengusikku. Aku mencoba menggerakan mataku, dan perlahan secercah sinar berebutan menerobos mataku.
Yang pertama kali kulihat saat aku membuka mata adalah wajah khawatir Mama. Desah lega terdengar dari bibirnya melihatku yang kini tersenyum lemah. Tak lama, aku merasakan usapan sayang di puncak kepalaku. Secara naluriah aku memejamkan mata saat tangan Mama begitu intens menyisihkan poni yang menutupi dahiku.
"Mama panggil dokter dulu, ya."
Aku mengangguk mengiyakan. Setelahnya, Mama meninggalkanku sendirian di kamar inapku. Aku hendak menutup kembali mataku, namun sebuah dehaman mencegahku melakukannya.
Kutolehkan kepalaku ke asal suara. Tersentak kaget saat lelaki dingin itu berdiri di dekat jendela, menatapku sambil bersedekap. Aku tidak menyangka dia juga berada di sini.
"Saya yang memberitahu keluarga kamu," jelasnya tanpa kuminta. "Saya juga memindahkan kamu ke Bandung, supaya mereka lebih mudah merawat kamu."
Mataku melebar, kupindai kamar inapku dengan seksama. Benar saja, kamar inapku ini berbeda dari kamar inapku yang sebelumnya.
"Kapan?" tanyaku dengan suara serak. "Kapan gue dipindahkan ke Bandung? Kenapa gue nggak tahu?"
Lelaki itu tersenyum miring. Seolah mengejekku karena melontarkan pertanyaan itu.
"Kamu jelas tidak tahu. Kesadaran kamu hilang setelah si brengsek itu mencoba membunuh kamu."
"Mem—membunuh? Siapa?" aku terbelalak kaget. Membunuh? Yang benar saja.
Lelaki itu mengendikkan bahu, membuatku semakin bertanya-tanya.
"Kenapa ada yang ingin membunuh gue? Emang gue salah apa?"
Tak kuduga, ekspresi lelaki itu kini menggelap. Meski kini matanya tak lagi mengarah padaku, aku sempat melihat kilatan amarah di mata yang berbingkai kacamata itu.
"Untuk melakukan sebuah kejahatan, seseorang nggak selalu membutuhkan motif." Tangannya yang semula terlipat di depan dada, kini tersembunyi di dalam kedua saku celananya.
Entah perasaanku saja atau apa, aku merasa suasana di kamar inap ini langsung berubah. Atu mungkin karena ekspresi lelaki itu yang semakin dingin membuatku merasa tidak nyaman.
Untungnya rasa tak nyaman itu lekas sirna saat Mama datang dengan dokter dan suster yang langsung memeriksaku. Aku tidak begitu mendengarkan apa yang dokter itu katakan pada Mama, karena saat ini semua fokusku tertuju pada lelaki itu.
Lelaki dingin yang tengah menatap lurus ke luar jendela.
***
"Mama nggak istirahat di rumah aja?" tanyaku.
Mama yang tengah mengupas apel kini menghentikan kegiatannya dan menoleh padaku. Matanya sedikit menyipit, mencetak jelas keriput di pinggir matanya.
"Kalau Mama pulang, yang jagain kamu siapa?"
Kuusap punggung tangan Mama. "Nav bisa sendirian kok di sini."
Mama melotot tak suka.
"Kamu ini ya. Sudah masuk rumah sakit gak ngabarin orang rumah, sekarang malah nyuruh Mama pulang dan biarin kamu sendirian dirawat di rumah sakit. Kamu emang seneng lihat orang khawatir, ya?!"
Aku meringis mendengar ocehan Mama. Padahal maksudku bukan seperti itu. Aku menyuruh Mama pulang karena mengkhawatirkan kondisinya. Aku tidak mau Mama jatuh sakit lagi karena merawatku di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
(END) After That Month
Action"Manusia tidak bisa menghindari kematian dan cinta." Navy Julianarya, seorang jurnalis yang ditugaskan melakukan sebuah investigasi di salah satu perusahaan yang dicurigai melakukan perdagangan gelap. Siapa yang menyangka, hal ini justru mengubah ja...