Bab Empat

3K 259 22
                                    

Begitu weekend tiba, aku langsung menepati perkataanku untuk menengok Mama. Kak Rega yang duduk di koridor kamar inap Mama langsung menyuruhku masuk ke dalam begitu melihat kedatanganku. Begitu pintu terbuka, aku tersentak melihat raga yang terbaring lemah di hadapanku. Mama tampak begitu pucat dan kurus. Beliau langsung tersenyum lebar saat aku melangkah mendekatinya.

“Apa kabar, Sayang?” Mama langsung mengecup kedua pipiku, membelainya penuh kasih seraya menatap wajahku.

“Kabar aku baik, Ma. Mama gimana? Udah enakan?”

Aku langsung menarik kursi di dekat Mama dan mendudukinya. Kugenggam tangan Mama yang tidak diinfus.

“Sudah agak mendingan setelah lihat kamu,” ujar Mama pelan.

Aku tersenyum penuh haru mendengarnya. Kucium punggung tangan Mama dan mengelusnya di pipiku.

“Kerjaan kamu gimana, Nav?”

Mataku seketika mengerjap. Kualihkan pandangku dari Mama yang menatapku lurus.

“Baik, Ma,” jawabku.

“Semuanya lancar, kan? Gak ada masalah?”

Aku mengangguk. “Iya, Ma. Semua lancar tanpa ada masalah,” dustaku. Tidak mungkin aku berkata jujur di saat kondisi Mama yang seperti ini.

Sebenarnya, beberapa bulan yang lalu aku sempat mengalami kendala saat tengah meliput. Saat itu aku meliput di pengadilan. Sebuah kasus mengenai pemerkosaan anak di bawah umur yang menjadi permasalahannya. Aku tidak pernah menyangka aksiku yang mengejar terduga pelaku untuk dimintai keterangan malah membuat pengacaranya murka dan melempar kameraku. Dia marah karena aku mengambil foto kliennya tanpa izin terlebih dahulu.

Bukan aku saja yang mendapat imbas. Beberapa pers dari media lain juga kena getahnya. Bahkan ada seorang campers dari salah satu stasiun televisi dihadiahi bogem mentah si pengacara.

Akibatnya, si pengacara dilaporkan ke polisi atas tindakannya itu. Walaupun pada akhirnya kasus itu ditutup dengan cara kekeluargaan dan kedua pihak sepakat untuk berdamai.

Omong-omong kamera, aku syok mendapati kameraku tergolek tak berdaya di tanah. Bagaimana tidak, itu kamera yang aku beli susah payah dari hasil keringatku, yang karenanya aku harus rela menekan semua pengeluaranku demi mendapatkannya. Kamera yang membuatku kelaparan di tengah malam itu malah hancur bertubi-tubi karena seseorang yang bahkan tidak kukenal.

Bisa bayangkan gimana perasaanku saat itu?

Aster berkata kalau aku tergolong orang yang beruntung. Di luar negeri malah ada jurnalis yang tewas tertembak saat tengah melakukan live report.

“Kameranya nggak lebih penting dari nyawa kamu, Nav. Kamera bisa dibeli lagi, kalau nyawa? Siapa yang jualan nyawa di dunia ini? Nggak ada!”

Meski masih dongkol setengah mati dengan si pengacara itu, aku membenarkan ucapan Aster. Manusia, apapun pekerjaannya, pasti lebih mengutamakan keselamatannya ketimbang yang lain. Nyawa manusia cuma ada satu, sekalinya ia hilang, maka tidak bisa kembali lagi.

“Emangnya nyawa manusia itu kayak baterai hape yang bisa di-charge ulang kalau mau habis?” tanya Aster.

“Ya, beda dong.”

“Nah, makanya nggak usah ambil pusing kalau kameranya rusak. Setiap pekerjaan itu ada risikonya, tantangan yang harus kita hadapi biar kita lebih survive. Kamera yang dirusak, salah satunya.”

Meski sudah mendapatkan kamera pengganti yang lebih canggih dari yang lama, tetap saja aku masih dongkol dengan si pengacara, hingga saat ini.

“Nav? Navy?”

(END) After That MonthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang