Bab Enam Belas

2K 196 46
                                    

Saya bukan manusia yang tidak pernah mengeluh. Ada beberapa hal di dunia ini yang saya keluhkan, salah satunya tugas kuliah. Lagipula, bukankah manusia memang makhluk yang selalu mengeluh?

Seminggu ini tugas saya menumpuk. Seolah sengaja tidak memberi saya waktu istirahat, tugas itu selalu bertambah setiap harinya. Bahkan untuk tidur tenang pun, rasanya sangat mustahil untuk dilakukan.

Perpustakaan kota yang cukup lenggang hari ini sedikit membuat saya berkonsentrasi mengerjakan tugas kuliah. Dengan sepuluh buku yang ditumpuk di dekat laptop, saya merasa seperti anak rajin. Hanya saja saya tidak mengenakan kaca mata tebal untuk melengkapi penampilan kutu buku saya.

Suara derit kursi di samping saya sedikit mengalihkan perhatian saya dari monitor laptop. Saya tidak menoleh ke asal suara, namun ekor mata saya melihat sepasang kaki jenjang berusaha duduk di kursi di sebelah saya.

Saya mencoba tak acuh, kembali fokus mengerjakan tugas kuliah yang akan dikumpul lusa, namun aroma segar dari seseorang di samping saya membuat saya menoleh tanpa tedeng aling-aling.

Pupil saya melebar saat mengetahui siapa yang kini tengah duduk di samping kanan saya. Tanpa saya duga, orang itu juga ternyata tengah menatap saya. Matanya menyipit, seolah tengah berusaha untuk mengenali saya. Tak lama, senyum lebar langsung terbentuk di bibir tipisnya, membuat saya tanpa sadar ikut tersenyum.

“Satria?” suaranya yang merdu langsung menyapa telinga saya.

Jantung saya bertalu hebat hanya karena sebuah panggilan itu. Entah kenapa, saya begitu menyukai cara orang itu memanggil nama saya, juga binar di matanya yang indah.

“Oh, hai ... Riana,” balas saya.

“Lo ngapain di sini?” tanyanya antusias.

Saya mengedikkan bahu menunjuk laptop dan 10 buku referensi untuk tugas kuliah saya. Mata bulatnya melebar tak percaya melihat gunungan buku-buku tebal itu.

“Ngerjain tugas,”

“Serius lo?!” pekiknya tak percaya. “Tugas lo parah banget, ya, sampe harus make 10 buku referensi gitu?” ia berdecak, menggeleng takjub.

“Nggak juga, sih,” sahut saya. “Cuma ... ya, emang 10 buku itu bisa bantuin saya ngerjain tugas. Materinya ada di sana semua.”

“Ya, ampun. Untung pas gue kuliah dulu buku referensinya nggak sebanyak elo.” Riana mendesah pelan, tampak lega.

Saya memgernyit saat pernyataan Riana tadi mengganggu pikiran saya. Mungkin karena rasa penasaran saya yang terlalu tinggi, saya sampai tidak sadar telah menyuarakan isi kepala saya.

“Kamu sudah lulus?”

Jawaban dari Riana-lah yang akhirnya menyadarkan saya bahwa pertanyaan itu telah saya suarakan dengan nada tidak percaya.

“Iya, tahun kemarin sih lulusnya.” Riana terkekeh geli melihat tampang bodoh saya: mata yang terbelalak dengan mulut yang menganga. “Biasa aja kali reaksi lo, nggak usah sampe segitunya.”

Saya tergagap, menyesali tingkah bodoh saya di hadapan gadis secantik Riana. Sebelum semakin terlihat bodoh, saya melengkungkan senyum di wajah.

“Maaf,”

“Kok lo malah minta maaf, sih?” Riana kembali terkekeh.

“Jadi?” saya mengernyit.

“Ya, nggak harus minta maaf. Lo juga nggak punya salah apapun sama gue.”

Saya berdeham, menutupi kecanggungan.

“Kamu ngapain ke sini?”

Riana yang telah larut dalam bacaanya kini menoleh. Mata bundar itu langsung tertuju lurus pada mata saya. Saya tidak sempat mengelak, karena kini mata bundar dengan manik abu-abu itu begitu menghipnotis saya untuk menatapnya tanpa berkedip.

(END) After That MonthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang