Bab Tujuh

2.3K 232 5
                                    

Setelah menutup percakapan kami dengan kesepakatan menolak perjodohan, Rizal mengantarkanku kembali ke rumah sakit. Ia kemudian berpamitan dengan Mama dan Kak Rega yang sudah berada di rumah sakit. Tak lupa pula ia mendoakan kesehatan Mama agar lekas sembuh dan keluar dari rumah sakit.

Saat ini aku tengah melangkah bersisian dengan Rizal di koridor rumah sakit. Atas inisiatifku sendiri aku mengantarnya menuju parkiran. Tak ada kata yang terucap di bibir kami semenjak tadi.

Saat akhirnya kami tiba di dekat mobil Rizal, barulah ia bersuara, "Aku tidak akan menyesal jika menerima perjodohan ini," ia mencondongkan tubuhnya ke arahku. "Tapi kita sama-sama tahu, dengan menolak perjodohan ini maka itulah yang terbaik."

Aku mematung di tempat. Tenggorokanku tercekat saat mendengar suara Rizal yang begitu lirih. Entah kenapa aku menangkap sesuatu dari nada bicaranya. Sebuah rasa ... kecewa. Tapi, kecewa karena apa?

"Navy, senang bisa mengenal kamu," katanya sebelum masuk ke dalam mobil.

"Ah, senang juga bisa mengenal kamu, Zal."

Rizal mengulas senyum, kemudian diam. Aku masih berdiri di samping mobilnya, dan dia belum juga beranjak pergi. Karena nihilnya percakapan di antara kami, aku memutuskan fokus pada jalanan di depan rumah sakit.

"Ehm, Nav," panggilnya yang membuatku mendongak, "boleh aku minta nomor hapemu?"

"Tentu,"

Rizal kemudian menyodorkan ponselnya padaku. Dengan gerakan terlatih aku pun menekan layar, menyimpan nomorku di ponselnya. Setelah menerima ponselnya kembali, barulah Rizal menghidupkan mesin mobil.

"Aku pulang dulu, Nav."

Aku mengangguk, perlahan memberi jarak dari mobilnya.

"Oke, hati-hati."

Rizal melambaikan tangannya sebagai salam perpisahan kami. Dengan senyum tipis di wajah kubalas lambaian tangan itu hingga mobil Rizal sudah tidak tampak lagi di pandanganku. Aku menunduk, mengembuskan napas pelan sebelum kembali mendongak.

Kuputuskan untuk kembali ke kamar inap Mama setelah sekian detik berdiri di tempat parkir. Begitu aku masuk, Mama langsung tersenyum penuh arti. Aku tahu arti senyuman Mama, namun memilih untuk pura-pura tidak tahu.

"Rizal sudah pulang?" tanya Mama setelah aku duduk di dekatnya.

"Udah, Ma," jawabku singkat. "Oh iya, Kak Rega mana?" tanyaku karena tidak melihat sosok kakakku itu.

"Lagi ke kantin, ada yang mau dia beli."

Aku mengangguk. Kualihkan pandangku dari wajah Mama yang tak pernah sedetik pun memudarkan senyumnya. Pandanganku kini terfokus pada botol infus Mama, memperhatikan tetesan cairan yang turun perlahan.

"Menurut kamu, Rizal gimana orangnya?"

Aku tersentak, namun tak seinci pun aku menoleh pada Mama. Kutundukkan kepala, menekuri jemariku yang bertaut.

"Mm, ya ... gitu deh."

"Gitu deh gimana?" tanya Mama lagi karena tidak puas dengan jawabanku.

"Ya, gitu."

"Kamu suka sama Rizal?"

Pertanyaan Mama kali ini berhasil membuatku menoleh. Tatapan Mama yang penuh harap padaku membuat sesuatu menyelusup ke dalam dadaku.

"Mama apaan sih?" tanyaku tak suka.

"Mama suka sama Rizal. Anaknya baik."

Aku memilih diam. Tidak menanggapi ucapan Mama. Aku tahu ke mana arah tujuan pembicaraan ini.

(END) After That MonthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang