Bab Sebelas

2.2K 220 19
                                    

Apa yang paling membuat kalian takut?

Hantu?

Ketinggian?

Ular besar yang berbisa?

Atau hal lain yang di luar nalar manusia?

Dulu, saat aku masih kecil, aku sering diceritakan mengenai beberapa jenis hantu dan pekerjaan mereka. Mereka tak kasatmata, namun dapat mengamati manusia sesuka hati. Memiliki tampang menyeramkan yang bisa membuat kita kesulitan tidur atau bahkan bermimpi buruk.

Aku sama sekali tidak takut meski kata mereka para hantu sangat menyukai anak kecil. Memburu anak kecil yang masih berkelian di luar saat malam menjelang, tanpa pengawasan orang dewasa.

Aku juga tidak takut saat harus meliput korban kecelakaan pesawat yang jatuh di gunung. Tidak gentar melewati medan yang tidak mudah bersama awak media lain dan tim penyelamat.

Aku tidak takut ketinggian, meskipun di bawahnya ada sungai yang mengalir deras. Aku bahkan pernah berada di rooftop salah satu gedung tertinggi di Jakarta. Memandang jalanan yang penuh sesak oleh kendaraan yang tampak kecil dari ukuran aslinya.

Aku tidak takut hantu, ketinggian, atau apapun itu.

Sungguh!

Tapi kali ini, aku harus mengakui kalau aku sedikit takut.

“Nav, lo nggak apa-apa?” suara Aster pagi ini berhasil merenggut kesadaranku.

Aku mengerjap, mengumpulkan sisa kewarasanku yang menguap entah ke mana. Aku menatap Aster bagai orang linglung. Aku bahkan tidak menyadari kedatangannya.

“Lo kenapa ke sini?” cicitku.

Oh tidak! Bahkan suaraku tidak dapat menyembunyikan ketakutanku.

“Gue khawatir. Setelah semalem lo matiin telepon, lo nggak juga nerima panggilan gue.” Aster mengusap lenganku pelan. “Gue takut lo kenapa-napa. Makanya gue langsung ke sini.”

“Gue nggak kenapa-napa, As,” jawabku.

Aku menatap sekeliling. Mengernyit saat menyadari aku masih terduduk di lantai ruang tamuku. Bahkan pecahan kaca akibat lemparan batu semalam belum aku bersihkan. Sesuatu yang membuat Aster terpekik dan menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan.

“Itu kenapa, Nav?”

Aku menggeleng, mengulas senyum tipis.

“Ada orang iseng yang melempar batu ke jendela gue.”

Sebelum sempat kucegah, Aster yang semula berjongkok di sampingku kini berdiri. Mendekati sesuatu yang menarik penglihatannya. Tubuhku yang masih terasa lemah, seolah tak bertulang, tidak bisa menghentikan tangan Aster yang meraih batu di dekat pecahan kaca itu.

Selain suara detik jam, aku yakin bisa mendengar detak jantungku yang berdentum cepat saat Aster memisahkan kertas yang menutupi batu itu. Mata Aster terbelalak saat membaca tulisan di kertas itu.

“Astaga, Nav! Ini ...” Aster membekap mulutnya. Setengah berlari ia mendekatiku. Aku tidak dapat menolak saat Aster menarik tubuh lemasku dan membawanya ke pelukannya.

“Gue baik-baik aja.” Aku masih berusaha meyakinkannya.

“Sejak kapan, Nav?”

Ah, aku membenci saat mendengar suara Aster yang bergetar seperti ini.

“Udahlah, As. Gue baik-baik aja. Itu kerjaan orang iseng aja.”

Kudengar Aster berdecak. Diurainya pelukan kami, menatapku tak suka.

(END) After That MonthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang