Sorot mata Satria tampak redup. Sedari tadi, tidak sedikit pun mata lelaki itu bergeser dari batu marmer yang bertuliskan nama seseorang yang telah berpulang. Terlebih kini, benak Satria memutar ulang ekspresi terakhir dari raga yang kini bersemayam dalam gundukan di hadapannya.
Tepukan di bahunya membuat Satria sedikit tersentak. Menoleh, ia mendapati Rizal dan Rean berdiri dengan senyum kelewat tipis. Seolah tahu apa yang saat ini tengah Satria rasakan, Rizal yang masih memegangi bahunya mengangguk singkat.
Menyentuh ujung kacamatanya yang sedikit bergeser, Satria lantas menghela napas panjang. Mencoba mengurai sesak dalam dadanya yang seolah enggan beranjak. Mengelus pelan nama yang terukir di batu marmer tersebut, Satria berdiri kemudian.
“Lo masih butuh waktu?” tanya Rizal saat dilihatnya keengganan di wajah Satria. “Kalau iya, kami akan menunggu lagi di mobil.”
Menggeleng pelan, Satria berujar, “Tidak usah. That's enough.”
“Elo yakin?” tanya Rizal memastikan.
Satria mengangguk. Mengerling ke makam di belakangnya, Satria mencoba menggaris senyum. Seolah sosok yang telah meninggalkan dunia itu tengah berada di sana, menyapa kehadirannya.
“Saya tahu kamu baik-baik saja di sana,” lirih Satria. “Sampai detik ini, saya masih belum percaya kamu sudah pergi. Rasanya seperti mimpi begitu menyadari kamu sudah tidak ada di dekat saya lagi.”
Rizal merasa napasnya tercekat mendengar ucapan Satria. Menoleh perlahan, ia mendapati ekspresi Satria yang tak terbaca. Namun Rizal tahu, Satria pasti merasakan hal yang tidak jauh berbeda dari apa yang ia rasakan.
“Meski kebersamaan kita hanya sebentar, bahkan jauh dari kata baik, kamu harus tahu, kehadiran kamu membuat salah satu ruang di hati saya terisi. Lalu kamu pergi, membuat ruangan itu merasakan kehampaan.”
Rizal mengejap tak percaya. Lidahnya terasa kelu. Bahkan untuk sekadar memanggil nama Satria, ia tidak mampu. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan, yang membuat hati Rizal terasa nyeri. Terlebih kini Satria kembali berjongkok dan mengelus nisan tersebut dengan sayang.
“Saya belum mencintai kamu hingga detik ini. Tapi saya tidak berbohong jika saya mengatakan saya menyayangi kamu. Rasa sayang seorang suami ke istrinya. Juga rasa sayang kakak ke adiknya yang harus ia lindungi.”
Rizal tersentak. Menatap Satria tidak percaya.
Kini ia sadar apa yang membuat hatinya begitu nyeri. Rasa kecemburuan. Ketidaksukaan mendengar Satria berkata demikian.
Meski mencoba menahannya, Rizal tahu perasaan itu masih ada. Rasa suka yang berkembang menjadi cinta, tapi pada akhirnya tidak pernah terbalas. Gadis yang ia cintai telah mengikat janji dengan lelaki lain. Bahkan kini telah tenang bersama Tuhan di akhirat sana. Lalu lelaki beruntung yang bisa mengikat gadis itu dalam sebuah komitmen adalah Satria. Rekannya sendiri.
“Satria.”
Rizal menoleh ke samping saat nama Satria dipanggil. Jelas itu bukan suaranya, meski sedari tadi ia memang ingin memanggil Satria yang tampak belum puas mendatangi makam Navy.
“Lo mungkin butuh waktu lebih lama di sini. Sebaiknya gue sama Rizal balik ke mobil dan nunggu elo di sana. Kalau lo udah selesai, baru kita menemui John.”
“Pukul berapa kita pergi?” tanya Satria. Mengabaikan kata-kata Rean.
“Pukul delapan malam.” Rizal yang sudah menguasai dirinya angkat bicara.
Melirik arlojinya, Satria pun mengangguk. Setelah mengecup pelan nisan bertuliskan nama Navy Julianarya, barulah Satria berdiri. Tanpa menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca, ia menatap Rizal dan Rean bergantian.
KAMU SEDANG MEMBACA
(END) After That Month
Action"Manusia tidak bisa menghindari kematian dan cinta." Navy Julianarya, seorang jurnalis yang ditugaskan melakukan sebuah investigasi di salah satu perusahaan yang dicurigai melakukan perdagangan gelap. Siapa yang menyangka, hal ini justru mengubah ja...