Setelah membilas pergelangan tanganku yang terkena air keras, lelaki itu benar-benar membawaku ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan tidak ada kata yang keluar dari bibir kami, walaupun bibirku sudah gatal untuk mengeluarkan tanya, aku menahannya karena rasa canggung.
Bahkan hingga kami tiba di rumah sakit dan para dokter langsung menangani pergelangan tanganku, lelaki itu tetap tidak mengucapkan sepatah kata pun kecuali, "Tolong obati dia. Tadi wanita ini tidak sengaja terkena air keras."
Kata-katanya yang begitu dingin begitu sinkron dengan wajah datarnya.
Benang pikiran di otakku terasa sangat kusut. Teror yang menimpaku hingga penyiraman air keras di pergelangan tanganku membuat otakku seketika buntu untuk berpikir jernih. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku menurut saja saat dokter menyuruhku untuk dirawat inap.
Dan di sinilah aku sekarang. Berbaring di ranjang rumah sakit ditemani lelaki dingin yang tidak juga mengeluarkan suaranya.
Aku mencoba menutup mataku, namun suara kursi yang bergeser di sampingku membuatku langsung membuka mata. Lelaki yang semula duduk di samping ranjangku kini bangkit berdiri.
"Sebaiknya kamu istirahat. Saya mau pergi dulu."
Sebelum sempat lelaki itu berlalu, dengan cepat aku menahan pergelangan tangannya. Dahinya mengernyit saat melihat tanganku yang mencengkram tangannya. Ia kemudian menatapku, sorotnya seolah meminta penjelasan atas tindakanku ini.
"Ehm, nama lo siapa, kalau boleh tahu."
Ia mengendikkan bahunya tak acuh, kemudian meraih tanganku, menjauhkannya dari tangannya.
"Apa gunanya kamu tahu nama saya?" salah satu sudut bibirnya terangkat. Sedangkan mata tajam di balik kaca mata itu seolah tengah menilaiku.
Aku terdiam. Lelaki itu ada benarnya, apa gunanya aku tahu namanya. Tapi, sangat tidak sopan kalau aku tidak mengetahui siapa nama lelaki yang telah menolongku, bukan? Demi etika dan kesopanan yang kujunjung tinggi, tentu aku harus berterima kasih pada lelaki dingin di depanku ini.
"Lo udah nolongin gue, jadi—"
"Kalau kamu berpikir ingin membalas pertolonganku atau mengucapkan terima kasih, saya tidak membutuhkannya," potongnya cepat. Meskipun kata-katanya begitu menusuk, aku tidak bisa menyanggah karena memang itulah yang sekarang tengah aku pikirkan.
"Nyebutin nama aja apa susahnya, sih?" sahutku ketus. "Gue tahu, lo itu asisten pribadinya Satria, yang sekarang mimpin Augusta Corp. Tapi setinggi apapun jabatan lo, sama sekali nggak berguna kalau lo nggak punya etika dan sopan santun!"
Kata-kata penuh emosi yang tidak kusaring itu ternyata menyentil emosi lelaki itu. Matanya kini melebar, tatapan tajamnya kian menajam setelah kata itu terlontar mulus begitu saja.
Aku kira setelahnya kami akan saling berdebat, melempar kata demi memuaskan emosi dan memenangkan argumen masing-masing. Ternyata ekspektasiku salah, karena kini aku dapat mendengar desah napas lelaki itu kembali teratur. Bahkan ekspresi menakutkannya kini sudah tergantikan oleh ekspresi datar yang biasa aku lihat.
"Sebagai seorang jurnalis yang sudah bertemu dan mewawancarai orang dengan berbagai jenis karakter, seharusnya kamu lebih tahu bagaimana bersikap dengan orang lain." Lelaki itu berbalik, sehingga aku tidak dapat melihat seperti apa ekspresinya kini.
Aku menunggu lelaki itu meneruskan kalimatnya. Namun hingga waktu berlalu, lelaki itu masih diam sambil berdiri membelakangiku.
"Di dunia ini ada beberapa hal yang memiliki batasan, dan kita nggak boleh melewati batas itu. Saya sudah memperingatkan kamu untuk berhenti, tapi kamu tetap saja meneruskan apa yang seharusnya tidak boleh kamu lakukan."
KAMU SEDANG MEMBACA
(END) After That Month
Action"Manusia tidak bisa menghindari kematian dan cinta." Navy Julianarya, seorang jurnalis yang ditugaskan melakukan sebuah investigasi di salah satu perusahaan yang dicurigai melakukan perdagangan gelap. Siapa yang menyangka, hal ini justru mengubah ja...