Sebuah ruangan VIP di salah satu restoran jepang menjadi tempat saya dan Rizal untuk membincangkan sesuatu. Rizal masih sibuk dengan ponselnya meski sudah hampir satu jam kami berada di sini.
"Mau kamu apa, Rizal?" tanya saya setelah detik demi detik berlalu sia-sia.
Perhatian Rizal pada ponselnya kini beralih ke saya. Setelah tersenyum singkat, ia meletakkan ponselnya ke atas meja. Menegakkan punggungnya dan menatap saya lurus.
"Kamu apa kabar? Udah lama banget kita nggak ketemu." Rizal meninju pelan lengan saya. Meski ia tertawa, tawa itu tidak lantas menular pada saya.
"Saya tidak ada waktu bermain-main dengan kamu."
"Dari dulu sampe sekarang, lo susah banget ya diajak bercanda." Rizal bersungut kesal. Ia bahkan tidak lagi menggunakan sapaan aku-kamu.
"Ada yang ingin kamu katakan?"
"Nggak sabaran banget!" Rizal menyeruput pelan ocha-nya. "Bisa nggak sih kita ngobrol-ngobrol santai? Kita udah bertahun-tahun nggak ketemu. Lost contact juga."
"Saya sibuk."
"Ya, ya, ya. Gue tahu, lo bukannya sibuk, tapi sengaja menyibukkan diri dengan kerjaan."
"Tidak usah berbelit-belit. Langsung saja katakan apa yang sebenarnya mau kamu katakan."
"Sabar, Bro. Gue tahu lo nggak sibuk-sibuk banget di kantor. Bukan hari ini aja, tapi semenjak lo mimpin Augusta Corp pun, tugas lo nggak berat-berat banget. Buktinya jam segini lo masih bisa berkeliaran di luar kantor."
"Kamu mengintai saya?" tanya saya curiga.
Rizal bungkam, mengendikkan bahu. Dia tidak menyangkal, atapun mengiyakan. Dari tingkah lakunya ini, tanpa perlu dia katakan, saya tahu apa jawabannya.
"Kenapa?" tanya saya lagi.
Dahi Rizal berkerut. Ditatapnya saya dengan ekspresi bingung.
"Kenapa?" ia membeo. "Apanya yang kenapa?"
"Kenapa kamu mengintai saya, mencari tahu tentang kehidupan saya?"
"Eits, bahasanya bisa lebih diperhalus?" Rizal langsung mengoreksi. "Pertama, gue nggak mengintai elo. Kedua, gue nggak dengan sengaja mengawasi elo dan nyari tahu tentang kehidupan elo di sini. Ketiga—"
"Mereka tahu?" potong saya. Saya tidak mau mendengar penjelasan Rizal yang terdengar panjang itu.
"Menurut lo?" Rizal balik bertanya.
"Saya tidak tahu, makanya saya bertanya."
Rizal menatap saya lekat, meneliti wajah saya dengan tatapan lelah.
"Semenjak lo mutusin berhenti, Drew nggak semudah itu ngelepasin elo. Apalagi kondisi lo saat itu lagi kacau-kacaunya." Rizal mengembuskan napas berat. "Lo kan tahu, lo salah satu anak asuh kesayangan Drew, dan jelas aja dia nggak mau lo kenapa-napa. Apalagi kalau sampe melakukan hal-hal gila."
"Jadi, Drew tahu?"
"Tahu kalau lo baik-baik?" Alis Rizal bertaut. "Tentu dia tahu. Dia tahu lo jauh dari kata baik-baik aja."
Saya memilih bungkam. Menghindari tatapan Rizal, saya menatap potongan sushi yamg tersaji di hadapan kami. Makanan yang kami pesan hanya sebagai formalitas saja, karena pada akhirnya kami tahu, baik saya ataupun Rizal, tidak ada yang akan dengan santai menyantap sushi di saat seperti ini.
"Drew ... apa kabar?"
"Dia ... baik."
Jawaban Rizal yang terdengar tidak meyakinkan itu membuat saya kembali menatap lelaki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
(END) After That Month
Action"Manusia tidak bisa menghindari kematian dan cinta." Navy Julianarya, seorang jurnalis yang ditugaskan melakukan sebuah investigasi di salah satu perusahaan yang dicurigai melakukan perdagangan gelap. Siapa yang menyangka, hal ini justru mengubah ja...