Delapan

3K 272 10
                                    


Seusai Rino mengucapkan kalimat itu, ia pergi meninggalkan Andita yang masih bengong dibuatnya.

Fanya sendiri menatap Andita dengan tawa kecilnya. "Dit, lo bakal sekolah di SMA Penabur Wijaya?"

Andita menoleh kearah Fanya yang sudah duduk di dekat kasur yang ia tempati dan mengangguk, "Iya."

Senyum Fanya kembali cerah, "Wah kita bakal satu sekolah dong. Disana nanti masuk kelas berapa Ndit?"

"Kelas 10"

Fanya mengangguk paham, "Trus lo disini ga dimarahin sama bokap nyokap lo gitu?"

Nyes.

Andita terdiam. Kepalanya menunduk dan ia tidak berpikir apa-apa.
Ia tak tahu harus nenjawab apa, dia memilih untuk diam dan tidak memikirkan soal pertanyaan Fanya.
Takutnya, gadis itu akan membaca pikirannya dan malah merasa kasihan terhadap dirinya.

Fanya tersenyum kecil, "Yaudah kalau lo ga mau cerita. Ini udah jam 11 siang. Lo mau pulang sekarang?"

Dengan secepat kilat, Andita mengangguk sambil tersenyum.

Sungguh, sedari tadi keringat dingin keluar dari tubuhnya. Sedari tadi ia meremas seragam sekolahnya. Ya, ia benci itu.

Andita langsung menuruni kasur dan mendapati sepatu dan tasnya di pinggiran kasur dekat sofa. Ia memungut dan memakainya.

Sedangkan Fanya menunggunya di luar pintu. Beberapa saat kemudian, Andita keluar dan berjalan berbarengan dengan Fanya ke ruang tamu rumah itu.

"Fanya!"

Langkah Fanya terhenti tiba-tiba sontak membuat Andita ikut kaget. Fanya menoleh kearah kanan menuju dapur, dan mendapati Bunda nya yang sedang membersihkan piring-piring.

"Iya bun?" sahut Fanya.

Andita hanya diam dibelakang Fanya, sampai wanita paruh baya itu menaruh tatapannya kearah Andita.

"Oh, jadi kamu Andita ya?" tanya Wanita itu dengan nada bicara yang sangat ramah, persis dengan Fanya.

Andita mengangguk, "Iya tante."

Wanita itu kembali tersenyum, "Mau pulang? Ga makan dulu?"

Andita bengong sendiri, baru saja ia ingin menolaknya dikarenakan ia terlalu malu, Fanya menyahut, "Oh iya, Ndit lu pasti ga sarapan kan tadi pagi? Yuk makan sekarang aja?"

Andita menatap kaget kearah Fanya. Andita yakini, selain membaca pikiran orang lain, pasti Fanya adalah seorang peramal atau ahli guna-guna yang...

"Andita jangan bengong, ayo kita makan."

Andita mengerjap matanya beberapa kali dan melangkah masuk ke dapur. Ia menatap dapur yang ditata sangat rapi dan teratur. Walaupun beberapa tempat terlihat kotor,  itu hal yang wajar.

Andita duduk di kursi, dan menaruh tas nya di kursi sebelahnya, dan menatap beberapa macam makanan di meja.

"Andita ga perlu sungkan. Mari dimakan." Tangan wanita itu bergerak seolah mengajak Andita makan.

Fanya ikut duduk di samping wanita itu dan mengambil piring.

"Uhm, tante. Kenapa hanya tante, Fanya sama Andita yang makan? Ada orang lain ga tan?" Tanya Andita menatap Fanya dan Wanita itu secara bergantian.

"Ayah Fanya lagi dinas di luar kota. Fanya anak tunggal, tapi punya kakak angkat."

Andita bingung, "Kakak angkat?"

Fanya menyahut, "Iya dit, Jadi aku punya kakak tapi bukan kakak kandung. Tapi sekarang dia di Bandung baru aja kemarin lusa dia berangkat."

Andita mengangguk. Kemudian ketiga makan dalam diam. Andita terlalu takut untuk berbicara, dan Fanya sendiri tidak mau mengganggu pikiran gadis itu.

Regards, AnditaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang