empat belas

2.5K 166 21
                                    

Vote duluuuuuu yap!
Hehehe...

***

Andita duduk bersandar di kasurnya, entah kenapa hatinya marah ketika ibunya sok tahu tentang apa yang terjadi di sekolahnya.

"Andita, buka pintunya." Selina memanggil dari luar kamar sambil mengetuk pintu kamar.

Ternyata pintu kamar Andita tidak terkunci, Selina langsung membuka pintunya lalu menutupnya kembali dan mendekat kearah anaknya.

"Kenapa ga cerita sama Mama?" Selina duduk di pinggiran kasur berusaha mengajak Andita berbicara.

Andita hanya memandang jendela kamarnya, tak memandang wajah Selina, "Kenapa mama penasarannya sekarang?"

Selina menarik nafasnya, "Karena mama peduli sama kamu."

Selina merasa tak berguna, sampai Andita bertanya seperti itu. Memang jarang sekali keduanya mengobrol tentang sekolah Andita, Andita juga tak ingin menceritakannya pada Selina, karena wanita paruh baya itu cukup sibuk dengan pekerjaan kantornya sehingga bertanya sedikitpun pada Andita, hampir tidak pernah.

"Kalau mama peduli, kenapa ga dari dulu?" Andita terkekeh pelan mendengar ucapan Selina, ia masih menghormati Selina sebagai ibunya, namun ibunya itu seolah olah tidak pernah mau tahu dengan keadaan Andita.

"Mama tahu aku punya masalah serius sama phobia aku, dan mama ga pernah ada. Konsultasi sama dokter juga terakhir kali waktu aku masih SMP. Mama tahu gak gimana sakitnya aku nahan rasa takut aku sama semua phobia aku?" Tanpa sadar, Andita meneteskan air matanya dan sudah menatap Selina.

Namanya Wanita, jika pertahanannya sudah hancur, ia akan meluapkannya dengan tangisan. Andita menangis, didepan ibunya. Dan Selina, ikut merasakan kepedihan dihatinya ketika melihat anaknya menangis.

"Mama ga bermaksud begitu..." Baru saja Selina ingin memeluk Andita, namun gadis itu menjauh.

"Iya aku tau mama ga bermaksud nyakitin aku."

Selina ingin menangis, namun ia juga tak tahan dengan kondisi seperti ini, "Dengar Andita, mama udah mencoba ngobrol sama kamu, tapi kamu yang menghindar, kamu yang menjauh dan mengacuhkan mama."

"Mama gatau berada di posisinya aku. Masih untung aku ga stress karena mama sama papa bercerai dan masih untung aku masih ada didunia ini." Tangisan Andita memecah dan nafasnya tersengal-sengal.

"Phobia kamu ga akan buat kamu mati, Andita." Selina berusaha membujuk Andita, ingin menenangkan gadis itu namun Andita seperti jaga jarak dari wanita itu.

"Tapi phobia aku buat aku pengen mati, Ma. Mama pernah ga sih, tahu menahu soal phobia aku yang buat aku nangis, dada aku sesak, nafas aku kayak orang asma akut, trus kepala aku pusing tiap hari, Ma!" Tangisannya menjadi-jadi.

Malam itu, tangisan Andita terdengar hingga kelantai bawah, membuat Pras terkejut.
Dirinya langsung naik ke lantai dua, dan mendapati anak sulungnya berdiri didepan pintu kamar Andita yang tertutup. Vano menatap ayahnya lalu menghampirinya, "Girl's talk." ucapnya dan langsung mengajak ayahnya untuk membiarkan dua perempuan di keluarga itu menyelesaikan urusan mereka.

"Mama ga tau, gimana aku kayak orang penyakitan hanya karena liat warna putih sama buku-buku tebal. Mama ga tau, gimana sakitnya jadi aku." Ucapannya menjadi pelan, namun masih dalam keadaan menangisi dirinya, ia menekuk lututnya dan menelungkup wajah didalamnya.

"Tolong ma, jangan buat kamar ini jadi sesak. Tinggalin aku sendiri." Andita berbaring di tempat tidurnya dan menyelimuti dirinya sambil sesegukan karena air matanya

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 21, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Regards, AnditaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang