4. Nostalgia

33 6 0
                                        

"Sudah kamu cuci dagingnya?" Gadis yang ada di depan westafel dapur itu mengangguk.

"Okay!" Dari tempat berdiri Hiraki di depan api kompor, ia berpindah menuju Kirei berada. Diambilnya daging yang sudah dipotong dadu dan dicuci bersih itu dari mangkok, dimasukkannya perlahan pada kuah yang sudah kaya rempah.

"Agak lama, nih" Ucap lelaki itu sembari mengaduk-aduk masakan yang mereka buat.

"Ayahku mengajarkan untuk merebus dagingnya dulu, biar gak alot. Tapi menurutku bumbunya kurang meresap, jadi aku rebus dagingnya bersama kuahnya"

Sedang asyik memperhatikan panci berisi makan malam nanti itu, tiba-tiba Rei menyodorkan sebuah buku catatan untuk dibacanya. Diletakkannya sendok sayur itu dan mereka menuju ke meja makan. Hiraki memposisikan dirinya untuk terduduk sembari membaca tulisan itu.

Jadi kalau nanti kuahnya habis, kita akan buat bumbu lagi? Pantas kamu beli banyak rempah tadi.

"Ya begitulah! Kalau gitu, ayo kita buat bumbu lagi!"

Kalau kamu melihatnya, terasa senanglah melihat mereka tersenyum bersama. Begitupun dengan mereka, yang sama-sama merasakan kebahagiaan. Seorang kakak beradik, tak disatukan oleh darah yang sama, namun begitu saling mengerti.

═════════════

Air minum yang telah tersedia diteguk habis oleh sang ayah. Ia menundukkan kepala sejenak sembari memejamkan mata, berterimakasih pada Tuhan maksudnya. Kepalanya kini ditegakkan kembali, ia bisa melihat kedua anaknya yang masih makan sisa dipiringnya, sedikit lagi.

Saat makanan mereka pun habis juga, dan beres mereka bersyukur, sang ayah menaruh kedua tangannya di atas meja, mempersatukan keduanya dan menempelkan tangan itu di depan mulutnya. Seperti ada suatu hal yang harus dibicarakan.

"Ujian kelulusan dua minggu lagi"

Kalimat yang terlontar tanpa izin itu membuat dua anaknya terdiam sejenak. Pikiran mereka melayang-layang, pasti akan ditanya kemana sekolah berikutnya.

"Mau lanjut ke mana?"

No! Akhirnya pemikiran mereka sampai juga. Perkataannya memanglah ramah dan tenang, namun begitu masuk ke dalam hati mereka. Agaknya jantung mereka sedikit jadi lebih cepat, bingung harus menjawab apa.

"Kenapa diam? Masih belum tahu?"

Mau tak mau, mereka bverdua pun mengangguk kemudian menunduk. Pasalnya, pertanyaan itu telah ditanyakan snag ayah berulang kali, namun belum juga mereka mendapat jawabannya. Melihat kedua anaknya menunjukkan mimik seperti itu, disangganya kepalanya dengan satu tangannya sembari menghembuskan nafas kekecewaan.

"Ok, pesan ayah sih rajin belajar ya!" Sang ayah mendorong kursinya ke belakang dan mengangkat tubuhnya berdiri. Namun baru satu langkah menjauh, sang ayah membalikkan badannya lagi dan tersenyum "Ngomong-ngomong, masakan kalian..." Ia mengacungkan jari jempolnya, tak melanjutkan perkataannya.

═════════════

Kedua orang itu tengah duduk di lantai dengan buku-buku yang berserakan. Saat jam berdentang menunjukkan pukul 10 malam, kedua anak itu segera merapikannya.

"Rei"

Ucapan dari kakaknya itu membuat kedua tangannya yang sedang sibuk bekerja pun berhenti, ia menatapnya.

"Kamu belum menceritakan yang waktu tadi di jalan"

Gadis itu terdiam sejenak. Apa? Yang mana? Oh, yang itu! Kembalinya ingatan itu membuat Kirei tersenyum. Telunjuknya segera mengarah ke halaman samping rumah, yang mana kamar mereka itu bersebelahan langsung.

Yell in a SilentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang