Hiruk pikuk kota begitu membisingkan telinga, panas matahari yang terik juga membuat keringat bercucuran keluar, namun itu semua tidak menyurutkan semangat orang untuk berbelanja di kawasan yang memang dikhususkan untuk tempat jual-beli ini. Di sepanjang jalan, berderetlah macam-macam penjual yang menjajakan dagangannya dengan suara lantang. "Jeruknya, bu!", "Ayo, lihat dulu! Pilih-pilih aja", "Di sini murah-murah, lho!" Begitulah teriakan pedagang yang langsung menggelar lapaknya. Namun, pedagang yang tenang-damai pun ada. Mereka adalah pedagang yang mempunyai sebuah toko. Menunggu pelanggan datang sembari menghitung uangnya di kasir, atau membaca buku, pedagang tipe ini bersantai dalam dinginnya AC dan tak banyak bicara, menawarkan.
Dalam keramaian siang kota, sebuah keluarga berjalan santai di jalan trotoar. Ayahnya memakai jas hitam dengan celana hitam pula, lengkap dengan dasi dan mesin waktu yang kelihatannya mewah melekat di tangan. Ibunya memakai kaos santai warna merah dengan roknya berwarna putih. Mereka terlihat meirik kiri kanan mencari suatu barang yang memang perlu untuk dibeli. Dan kau bisa melihat di antara mereka, ada seorang anak perempuan lengkap dengan gaun selutut putih dan sepatu merahnya. Bibirnya tak henti tersenyum melihat banyak pedagang yang menawari ke arahnya, berbeda dengan orangtuanya yang maju lurus mengabaikan mereka.
"Pak, bu, ikannya, silakan, masih segar" Penawaran seorang lelaki paruh bayah yang amat sopan dihadapan mereka membuat keluarga itu berhenti. Sang ibu melirik ke arah suaminya namun tak bersuara. Melihat isyarat itu, sang ayah hanya mengertukan keningnya tanda bukan itu yang diinginkan
"Terimakasih, pak. Tapi..."
Ucapan sang ibu menggantung begitu saja saat ia melirik ke kiri bawahnya anaknya sedang menatap sumringah pada ikan yang ditawarkan bapak itu.
"Hari ini kamu mau makan itu?" Tanya ibundanya yang merendah menghampiri wajah anaknya. Anak dengan jepitan bunga itu mengangguk mengiyakan, sudah lama ia tidak makan ikan maksudnya
"Iya deh, pak. Kami beli sekilo aja".
Wah, betapa gembiranya bapak itu mendengarnya. Sedari pagi, ikannya memang belum ada yang beli, maka wajar saja dengan sangat bersemangat ia meladeni pembeli pertamanya hari ini
Saat menunggu bapak itu menyiapkan pesanannya, tanpa sengaja tangan anak perempuan itu dilepaskannya oleh ayahnya, hendak mengamati waktu di pergelangan tangannya. Anak manis itu mengamati lingkungan sekitar ia berada, dan tepat di belakangnya, sebuah toko berdiri di sana. Karena sang ibu juga sibuk mengambil uang di dompet, maka tak pikir panjang gadis itu langsung menghampirinya. Kedua telapak tangannya menempel erat pada kaca toko, matanya menerawang setiap penjuru. Ia bisa melihat ada beberapa orang di sana yang memegang entah itu piano, biola, harmonika, atau apa saja dan di hadapan mereka ada seorang yang tanpa henti bicara. Sayup-sayup, ia bisa mendengar alunan nada yang membuatnya tambah penasaran.
"Rei"
Suara berat yang dikenalnya itu membuatnya yang sedang asyik mendengarkan berpaling ke belakang. Tak digubrisnya, anak itu kembali menempel ke kaca toko, mengamati.
"Rei, waktunya ayah harus balik lagi ke kantor".
Gadis itu diam sejenak sampai akhirnya berpaling. Ia menatap ayahnya lekat-lekat tanda tak ingin berpisah walau hanya ke tempat kerja sekali pun. Melihatnya, sang ayah pun duduk jongkok di samping anaknya sembari tersenyum, sekalian penasaran apa yang sangat membuat anaknya mengabaikannya tadi.
Namun saat melihatnya bersamaan dengan anaknya, sang ayah hanya bisa terdiam, bingung. Ia melihat ke arah anaknya yang ternyata masih memperhatikan orang-orang dalam ruang itu dengan tatapan sumringah. Dan kebahagiaan yang terpancar dalam senyuman anaknya malah sebagai keadaan yang menancap pikirannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Yell in a Silent
Fiksi RemajaNamaku Kirei, yang artinya "Indah". Tapi hidupku ini tidaklah indah sebagaimana namaku. Aku bernafas, aku hidup, layaknya manusia pada umumnya. Tampilanku biasa, tiada suatu pun yang spesial, yang mana bisa membuatmu betah melihatku lama-lama, dara...