5. Terpecahkan

42 9 1
                                        

Buku tebal itu tebuka lebar di atas sebuah meja yang berantakkan. Di hadapan buku itu, terduduk seorang perempuan menatapnya. Dilihat dari matanya, jelas sekali ia menatap ke arah buku itu, namun di matanya yang biru gelap yang kadang terlihat hitam itu, tak nampak satu tulisan pun. Sepertinya, pikirannya bukan ada di situ.

Ptik! Ptik!

Terperajatlah tubuh Rei saat menyadari sebuah tangan yang menjentikkan jari-jemari di hadapannya. Segera pandangan matanya itu melihat ke depan. Seorang lelaki. Bukan, bukan Hiraki! Lelaki itu berada di kelas yang berbeda. Itu Ananta Jean, teman sekelasnya yang jenius, dan jarang sekali ia berbicara dengannya. Oh, maksudnya berkontak komunikasi dengannya.

"Kamu baik, Rei?" Tanya Jean ramah pada gadis itu. Dan jawabannya hanya sebuah anggukan dan senyuman. Namun jawaban itu malah mengerutkan alis Jean saat melihat di hadapannya buku pemantapan ujian kelulusan itu tak terisi.

"Ada materi yang tidak mengerti?"

Rei segera mengambil pensil di tempat peralatan tulisnya dan langsung menuliskan "mungkin tidak ada". Tulisan itu langsung terbaca oleh Jean. Tapi, bukannya pergi, ia malah menumpukkan kedua tangannya di meja gadis itu, persis di hadapannya.

"Lalu? Ada masalah apa kalau boleh tahu?"

Rei pun kembali menuliskan jawabannya pada buku persiapan ulangannya yang tebal penuh soal itu.

"Bingung. Sekolah mana yang harus aku tuju?"

"Oh, masalah ini. Hmmm... SMA 1?" Tanya Jean sembari mengacungkan telunjuknya."2?" Tambahnya jari tengah. "Atau 3?" Lelaki itu menunjukkan tiga jarinya dihadapan gadis yang kini memberengut.

Maksudnya bukan itu. Ia pun sudah tahu nama-nama sekolah itu, hanya saja ia tak tahu mana yang cocok untuk dirinya.

"Oh, Rei! Aku tahu kok bukan itu yang kamu bingungkan. Aku hanya bercanda. Kamu mencari sekolah yang cocok, kan? Itu dilema setiap orang yang akan lanjut sekolah. Lagipula kalau masalah kecocokan, menurutku itu tidak berpengaruh. Tempatmu di mana saja cocok asal kamu bisa mengikutinya dengan baik. Notabene setiap orang mungkin satu itu paling bagus, namun itu sia-sia kalau kamunya tidak sungguh-sungguh"

Jean melepaskan kedua tangannya dari meja Kirei. Ia kini berdiri tegak menghadap gadis yang masih terduduk itu.

"Tak usah bingung. Well, seandainya berlian yang terjatuh di lumpur pun, masih tetap berkilau, kan? Ia akan tetap dicari. Btw, aku harus pulang. Kalau tak keberatan, bisa tidak kamu pulang sekarang? Hari ini aku yang pegang keamanan"

Teringat hal itu, Kirei pun langsung berkemas. Dibawanya tas dan disanggakannya di kedua pundaknya. Saat Rei keluar, Jean pun langsung mengunci pintu kelasnya dengan gembok. Sistem kemanan ganda, itulah yang kelas IX-8 perbuat. Penjaga sekolah memang akan mengunci pintu mereka saat telah sore dan akan membukanya kembali satu jam sebelum bel sekolah berbunyi tanda masuk kelas. Namun, apa salahnya menambah keamanan kelas mereka?

"Kirei"

Saat gadis itu berpaling menoleh ke belakang, Hiraki tengah menatapnya kesal. Ia melihat pada Jean yang berdiri di samping Kirei, menatapnya makin masam.

"Apa? Mana mungkin aku mengejeknya" Sela Jean dengan tiba-tiba. Sepertinya ia tahu sangat bahwa tatapan Hiraki itu menyindir dirinya, mungkin saja Jean mengejek adiknya Hiraki itu seperti sebagian teman-teman lainnya.

"Ouh" Jawab lelaki itu sembari menyilangkan kedua tangannya depan dada, tak kurang ia masih menatap Jean dengan sinis. Namun, Jean malah tersenyum, tersenyum hanya mengangkat sisi bibir kanannya, seperti ada hal yang hendak ia lecehkan.

Yell in a SilentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang