Sore yang hangat itu, tangan Hiraki menuntun Kirei dengan ramah. Bukan karena tak tahu jalan, namun entah apa alasannya anak lelaki itu memegang tangannya seakan gadis itu hendak tiba-tiba pergi. Sesekali wajah Hiraki menatap ke belakang memastikan yang ditariknya itu benar-benar Kirei.
Saat tiba di depan gapura, dilepaskannya tangan gadis itu. Kirei yang memegang keranjang berisi banyak kelopak bunga beserta botol air itu membagi isinya sebagian pada Hiraki. Kini, mereka jalan masing-masing menuju siapa yang ingin mereka kunjungi.
Di taman yang tidak layak ada suara manusia berteriak itu, taman yang sunyi, tempat orang beristirahat selepas hidup, mereka mulai berbicara dengan batin kepada orang yang dituju. Matanya memejam dan kedua tangannya bersatu dihadapan antara mulut dan dada. Menjamah dan semakin dalam menjamah batin masing-masing.
"Hai, bu! Ini Hiraki. Aku sangat ingin bertemu. Sudah lama sekali gak ngobrol lagi. Apa kabar di sana? Ibu, dengan segala kemuliaan Tuhan, semoga ibu ada di tempat terbaik-Nya! Dan aku harap ibu bahagia.
Hai bu, di sini aku ingin minta izin dan doamu. Besok aku ujian kelulusan, semoga saja dipermudah!Aku akan bekerja keras semampuku. Tapi jika aku tak lulus, aku mohon ibu jangan kecewa. Ah, apa sih?! Pokoknya, aku akan bekerja sungguh-sungguh dan lulus! Doakan ya!"
Kedua tangan anak lelaki itu diusapkan ke seluruh wajahnya. Tatapannya berseri-seri menatap tanah sang ibu. Benar-benar ia sangat amat merindukannya. Botol berisi air tadi dibukanya lalu perlahan di tumpahkan pada tanah itu. Habis air, kemudian ia taburkan bunga-bunga yang amat harum baunya. Bibir Hiraki tersenyum melihat tempat peristirahatan bundanya yang kini cantik.
Hiraki menatap ke depannya, dan dilihatnya adiknya itu masih tertunduk tak bergerak. Didekatinya Kirei, wajahnya yang manis itu masih khusuk berdoa. Panjang sekali doanya sepertinya, namun sepanjang apapun itu, Hiraki tak kan mengganggunya apalagi sampai meninggalkannya.
Tidak lama, mata biru gelap itu pun terbuka perlahan kemudian segera menatap ke sebelahnya. Kedua tangan Kirei diturunkan dan ia tersenyum melihat Hiraki yang tengah memperhatikannya itu. Namun, tampak matanya berkaca-kaca, tapi Hiraki tidak memedulikannya, barangkali ia hanya merindukan orangtuanya.
"Apa yang kamu minta sampai doamu panjang gitu?" Bisik Hiraki mendekati telinga Kirei.
Rei kembali tersenyum sembari menaruh telunjuknya di atas bibirnya. Melihat ia tak mau memberitahunya, Hiraki sedikit kecewa, cemberut bibirnya. Tingkahnya itu tak dihiraukannya, ia segera menyiramkan air yang sebelumnya didoakannya itu kemudian menaburkan bunga.
Saat kedua anak itu berbalik badan, tampaklah seorang pemuda berambut orange di mata mereka, penampilannya seperti berandalan. Namun, di tangannya terdapat setangkai bunga mawar putih. Hanya setangkai, bunganya pun belum terlalu mengembang pula.
Perawakannya yang seperti orang sadis itu segera lenyap saat ia mulai berjongkok dan mengusap-usap batu nisan. Terlihat benar, matanya itu berlinang-linang dan senyumannya sangat tulus. Bibirnya terlihat berkomat-kamit mengucapkan sesuatu kemudian tertawa-tawa kecil, tak terdengar oleh Hiraki dan Kirei.
Oh, tidak ada apa-apa, pikir Hiraki. Ia pun menyikut tangan Kirei untuk mengajaknya segera pergi dari tempat itu. Maka, pergilah mereka berdua menuju gerbang yang tadi dilewati. Saat letak mereka hampir berpapasan, seakan tahu ada yang mengamatinya, pemuda itu pun segera mendongak, Kirei yang tengah mengamatinya langsung membuang muka.
"Ada anting di sebelah telinganya kirinya, kenapa bisa?"
═════════════
Udara malam itu amat menusuk kulit. Terpaksa siapa pun yang pergi ke luar harus memakai jaket jika tak ingin kulitnya tercabik dinginnya malam. Jalanan pun lenggang dan toko-toko sudah menutup dirinya. Maklum lah, walaupun ini pusat kota yang selalu ramai, akan beda situasinya jika hari ini adalah malam Senin. Malam di mana biasanya banyak menumpuk tugas, namun kamu harus tidur awal.
Seseorang berjalan di trotoar, diterangi beberapa tiang lampu jalan yang khusus untuk menerangi jalur pejalan kaki tersebut, kepalanya terlihat menunduk dengan ditutupi tudung jaketnya. Kedua tangannya disembunyikan di sisi saku jaket. Ia terlihat berjalan dengan santai seorang diri.
Pada saat melewati sebuah perempatan, sesosok makhluk bertubuh besar nampaknya melihat keadaan gadis itu. Ia menyipitkan matanya sebentar, kemudian memutuskan untuk mengikuti gadis itu. Perlahan lelaki itu berjalan di belakang sang gadis yang sepertinya tidak tahu akan keberadaan dirinya. Berusaha dicepatkan langkahnya menuju si gadis gila itu agar cepat menyentuhnya.
Namun tiba-tiba, orang yang ia ikuti berhenti. Sang penguntit pun juga berhenti tepat di belakangnya. Agak hening beberapa menit di antara mereka yang jaraknya tak kurang dari semeter itu. Sampai...
BUK!! Sampai tiba-tiba kaki yang kokoh itu memutar melingkar ke belakang. Lelaki bertubuh besar itu pun dengan cepat melindungi kepalanya dengan menahan serangan menggunakan tangannya.
Gadis itu menggretak lalu menurunkan kakinya cepat. Ia langsung mengambil sebuah benda yang berada di belakang tubuhnya itu, kemudian melompat menuju arah musuhnya sembari menghujamkan dari atas sebuah pisau kepadanya.
TAP! Ditahannya tangan gadis itu. Jika telat sedetik saja, pisau yang kini tepat menyentuh permukaan dahinya itu pasti akan merobeknya.
Tak lama, tangan yang sedang menahan itu mengikat erat pergelangan sang gadis sampai pisau itu akhirnya jatuh, menimbulkan satu-satunya suara yang tercipta di keheningan malam itu.
Ia belum terpojok. Tangan sebelahnya gadis itu langsung menyergap leher musuhnya. Ditekannya seluruh permukaan itu, makin lama makin keras sebab tangan si gadis pun semakin erat di pegangnya. Seakan terasa pergelangan tangannya itu hendak diputuskan, tangan gadis yang sedang mencekik itu beralih menekan keras jakun lelaki itu. Dan dengan cepat, tangan gadis itu dilepaskan. Lelaki itu pun kini memegangi lehernya dan mengabaikan gadis yang berdiri tersenyum sinis di hadapannya.
"Re..na!"
"Heh?!"
Kedua mata gadis itu kini malah membulat, bibirnya berubah menjadi sebuah ekspresi kekhawatiran dan kebingungan.
"Ini aku, Rena!" Lelaki itu kembali tegap, tangannya segera mendekat pada kepala gadis itu, melepaskan tudung kepalanya dan mengenyahkan poni yang sepertinya menutupi matanya itu.
"R-RAIGA??!!" Teriak gadis itu kaget. Ia langsung menghampirinya. "Kamu tidak apa-apa? Ouh, aku minta maaf, aku tak..."
"Harusnya kamu lihat dulu siapa!" Sanggah lelaki itu keras.
"Ha?!" Mata kekhawatiran gadis itu kini berubah melotot kembali. "Kamu yang salah, Raiga! Kenapa kamu gak panggil aja?! Make acara nguntit-nguntit segela lagi, ya bukan salahku dong kalau aku menghajarmu! Lagipula, ngapain kamu mengikutiku?!"
Beberapa menit lamanya mereka saling menatap tajam, menyalahkan satu sama lain. Suasana malam yang hening pun kembali. Setelah sekian lamanya, akhirnya lelaki yang dipanggil Raiga pun menghembuskan nafas sembari memutar matanya. Ia menyatakan kalah dari gadis bermata tajam itu.
"Sekarang jam setengah satu malam. Kenapa keluar? Mau ke mana?"
"Aku mau bertemu Yuzu". Jawab gadis itu santai.
"Ren, besok kan kamu sekolah, kenapa gak datang besok aja?"
"Aku tidak bisa tidur nyenyak, Raiga!"
"Hah... Okay, aku antar kamu, sekalian pulang"
Akhirnya dua orang remaja itu pun pergi ke jalan yang sama. Di perjalanan, tak henti-hentinya lelaki itu mengata-ngatai gadis itu. Jangan ini, jangan itu lah. Dan tak henti-hentinya gadis itu pun merajuk. Namun, dari percakapan mereka, terasa sekali mereka berdua itu amat dekat hubungannya. Jadi siapa lelaki itu?

KAMU SEDANG MEMBACA
Yell in a Silent
Подростковая литератураNamaku Kirei, yang artinya "Indah". Tapi hidupku ini tidaklah indah sebagaimana namaku. Aku bernafas, aku hidup, layaknya manusia pada umumnya. Tampilanku biasa, tiada suatu pun yang spesial, yang mana bisa membuatmu betah melihatku lama-lama, dara...