Dalam siang hari yang cukup terik itu, seorang bapak-bapak duduk menjaga sebuah kotak. Tangannya yang memegang koran dikibas-kibaskan ke arah lehernya, sesekali terdiam sebentar karena pergelangan tangannya terasa pegal.
Daun pintu terdengar bergerak, si bapak pun dengan spontan melirik ke arah datangnya suara tersebut. Keluarlah dalam ruang tersebut seorang perempuan berjalan dengan susahnya. Tangannya tidak pernah lepas dari tembok. Karena kalau sampai lepas, akan ambruklah badannya.
Sampailah gadis itu di depan kotak yang dijaga seorang bapak tadi. Ia mengambil kruknya yang dititipkannya pada penjaga kamar mandi umum tersebut. Keduanya sama-sama tersenyum saat mereka menatap mata.
"Tak perlu" Ucap bapak tersebut saat gadis itu merogoh sakunya. Ia pun tersenyum dan mengucapkan terimakasih.
"Yuzu!" Panggil bapak itu saat gadis itu telah beranjak meninggalkannya. Ia pun kembali mendekat pada Pak Awan namanya.
"Lihat!"
Yuzu pun menatap pada apa yang ditunjuk oleh Pak Awan di atas koran itu. Ia terdiam sejenak. Perlahan, alisnya mulai berkerut tiada mengerti. Terkadang ditatapnya Pak Awan itu, kemudian kembali lagi pada artikel koran yang ditunjukkan padanya.
"Huh?"
"Tch!" Pak Awan berdecak kesal karena gadis yang didepannya ini tidak mengerti. "Ini lho! Lomba!" Lanjut Pak Awan sembari menunjuk keras artikel dalam koran itu disertai suaranya yang agak meninggi.
"Trus?" Jawab gadis itu sembari nyengir tidak mengerti. Ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dan Pak Awan menatapnya sedikit menganga, tidak percaya akan ketidakmengertian Yuzu.
"Kamu bisa kan ikutan ini? Kesempatan bagus, lho!"
Yuzu hanya terdiam dengan tatapannya yang agak membesar. Bukan, ia bukan membayangkan dirinya menang. Ia membayangkan dirinya jatuh seperti tahun-tahun lalu, saat ia menghabiskan uang penghasilannya hanya untuk lomba yang membuatnya kalah sia-sia.
"Terimakasih. Tapi, a-aku tidak bisa. Permisi"
Gadis itu langsung membalikkan tubuhnya dan segera membawanya pergi dengan bantuan kruk yang mengapit di ketiaknya. Kelihatan sekali ia buru-buru keluar menjauhi kamar mandi umum itu.
"Yuz!" Teriak Pak Awan membuat Yuzu berhenti, namun ia tidak meniliknya sama sekali. "Semua orang bisa jadi pemenang!" ucapnya lanjut dengan lantang.
═════════════
Yuzu terus melangkah mengikuti ke mana kruknya itu membimbing kakinya yang lumpuh. Kaki kirinya itu hanya menggantung tak berguna, selalu ikut kemana pun ia pergi. Matanya menatap ke bawah, ke tempat ia berjalan.
Semua orang bisa jadi pemenang. Kalimat itu terus memenuhi isi otaknya. Salah, bukan karena kalimat itu begitu dalam maknanya. Melainkan orang yang menciptakan asli kalimat itu. Pak Awan yang mengutipnya tadi, membawa pikiran gadis itu kembali ke masa lalu yang membuat hati hancur.
Makin lama, makin jelaslah bayangan itu. Kebahagiaan, tawa, kasih sayang, dan... cinta, memenuhi seluruh lubuk hatinya hingga penuh sampai meluap ke tenggorokannya. "Oh Tuhan, aku merindukannya!"
"Yuz!"
"Apa yang Engkau rencanakan, Tuhan? Hingga Engkau membawanya selagi aku membutuhkannya"
"Yuzu!"
"Dengarkah Engkau, Tuhan? Suaraku yang penat itu, karena sebagian hatiku hancur. Sampai kapan akhirnya aku akan tertidur? Masa depanku pula tak tergambarkan, abu-abu nampaknya."
"YUZU!!!"
"Huh?" Gadis yang sudah hampir menangis itu menengok ke kirinya. Melihat orang yang berdiri di depan sebuah toko itu, membuatnya kembali tersenyum walau berangsur, air matanya pun tak jadi turun. Yuzu menghampiri gadis yang seumuran dengannya itu karena ia melambaikan tangan padanya menyuruhnya kemari.

KAMU SEDANG MEMBACA
Yell in a Silent
Teen FictionNamaku Kirei, yang artinya "Indah". Tapi hidupku ini tidaklah indah sebagaimana namaku. Aku bernafas, aku hidup, layaknya manusia pada umumnya. Tampilanku biasa, tiada suatu pun yang spesial, yang mana bisa membuatmu betah melihatku lama-lama, dara...