Yuzu baru pulang dari kamar mandi umum Pak Awan. Ditangannya sambil memegang kruk, menggantung sebuah kantong kresek hitam berisi makanan pemberian bapak kamar pemandian itu.
"Oh, Hai Yuz!"
Sapa Ian pada Yuzu yang tengah terduduk menyiapkan gitarnya. Gadis itu sudah bersiap untuk bekerja lagi walau matanya bengkak karena menangis ditambah kurang tidur. Namun kini tujuan utamanya adalah uang, jadi apapun halangannya, ia harus terus menerobos untuk mendapatkannya. Prinsip hidupnya sekarang, "No money, no life".
"Hallo. Ini, dari Pak Awan!"
Serah Yuzu menyodorkan kantong kresek itu, lantas dibawa oleh Ian dan menilik ke dalamnya.
"Roti?" Tanya Ian heran.
"Ya" Jawab singkat Yuzu tanpa memerhatikan lelaki itu. Ia masih sibuk mengelap gitarnya sampai sekinclong mungkin, walau kebututannya tidak berubah.
"Bagaimana bisa?"
"Hah..." Yuzu membuang nafas kesal karena Ian banyak tanya. Gadis itu mendongak menatap Ian. "Pak Awan bilang, hitung-hitung itu pemberian hadiah padaku karena sudah mau mengikuti nasihatnya untuk mengikuti lomba. Aku yakin dia tahu uang kita habis gara-gara lomba itu, jadi ia sekedar memberi pengganjal, itu maksud sebenarnya dia"
Peti gitar itu akhirnya ditutup, sudah beres disiapkan. Yuzu menumpukan berat tubuhnya pada kruk, berusaha untuk berdiri.
"Tapi tenang Ian, aku akan berusaha membawa uang banyak hari ini. Sekarang, makanlah yang ada"
"Ghehe, ya aku juga akan berusaha untuk hari ini" Ian sedikit tertawa pahit mendengarnya, tapi tak banyak pikir tentang hal itu. Segeralah ia memakan satu bungkus roti pemberian Yuzu.
"Hei! Hei!" Suara teriakan dari belakang itu membuat Ian menoleh. Begitu pun Yuzu yang sudah diambang pintu. Maka terlihatlah sosok lelaki besar, Appo.
"Aku hampir lupa memberi tahu kalian. Hari Sabtu dan Minggu sekarang ada bazar baju!"
"Oh ya???" Tanya Ian sumringah dengan roti yang masih ada dimulutnya. "Baru?? Atau bekas??"
"Kudengar ada yang baru dan yang bekas. Lagipula katanya sih, yang baru pun harganya tak terlalu mahal. Nanti bazarnya di halaman pusat mall itu"
"Ah, Tuhan!!! Akhirnya aku bisa mendapat baju baru! Terimakasih..." Ucap Ian sembari mengusap mukanya yang menengadah.
"Oh syukurlah! Masih ada waktu lima hari lagi, ayo kita kerja!" Seru Yuzu semangat, lantas meninggalkan kedua lelaki itu yang masih tinggal di dalam gubuk.
"Nih, roti, dari Pak Awan. Aku mau kerja sekarang" Ian menyerahkan kantong kresek itu, langsung ia menghampiri biolanya, dan pergi meninggalkan Appo sendirian di rumah.
Appo menatap pada isi kantong itu, tak sangka pagi ini masih bisa ia makan. Setelah disantap satu bungkus roti itu, maka pergilah Appo sebagai kuli. Pengaduk semen, penyaring pasir, memecahkan batu, pengangkut barang, pengantar barang, baginya itu ladang yang indah.
Dan Ethanda? Apa kerjanya itu?
═════════════
Ian menurunkan biolanya itu dari pundaknya. Kepalanya kini kembali menegak setelah tak ada lagi yang disangganya. Lantas, ia pun melongo pada peti biola miliknya. Beberapa uang receh tergeletak di sana. Ia berjongkok memunguti uang itu untuk dihitung. Tak seberapa memang jumlahnya, tapi kan ini baru pertama ia ngamen. Ia hendak pergi ke lain tempat.
Dalam perjalanan, ia celingak-celinguk mencari tempat mana yang bisa untuk ia konser. Kali saja ada restoran yang banyak pelanggan dan si empu toko ramah padanya untuk mengizinkan kaki kotornya itu masuk.

KAMU SEDANG MEMBACA
Yell in a Silent
Novela JuvenilNamaku Kirei, yang artinya "Indah". Tapi hidupku ini tidaklah indah sebagaimana namaku. Aku bernafas, aku hidup, layaknya manusia pada umumnya. Tampilanku biasa, tiada suatu pun yang spesial, yang mana bisa membuatmu betah melihatku lama-lama, dara...