Weekend yang sibuk, banyak kendaraan lalu-lalang di pusat kota. Matahari pun bersinar terik tepat di atas kepala. Kalau melihat atap kendaraan, akan tampak dengan jelas fatamorgana. Terkadang, akan dijumpai pula pejalan kaki yang membuka payungnya.
Dalam kacau-balaunya kemacetan, dan sibuknya pak polisi mengatur hari libur mingguan itu, dua manusia berlari seperti semut kepanasan yang mencari tempat teduh. Hampir beberapa orang ditabrak mereka karena terburu-burunya itu. Orang-orang juga ada yang memperhatikan mereka karena seperti anak pembuat onar yang menambah rusuh jalanan.
Setelah cukup lama berlari, kedua muka yang masam itu bagaikan bertemu oasis di padang pasir. Dengan semangat, mereka menuju "oasis" itu, yang tidak lain adalah sebuah gedung yang besar nan megah. Berlarilah mereka memasuki gerbang yang amat tinggi bercat hitam. Mereka langsung mendatangi sebuah bangunan yang ada di samping auditorium kota itu, bangunannya sedikit lebih kecil.
Namun, baru juga sampai, sepertinya "oasis"-nya itu telah kering. Kedua muka berubah lebih masam dari sebelumnya saat membaca sebuah kertas yang ditempel di kaca bertuliskan "SOLD OUT"
"Hah?... M-masih..."
"Maaf, Dik. Sudah habis" Jawab seorang wanita yang berjaga di balik kaca itu, wajahnya berubah masam juga melihat keduanya.
Hiraki yang masih ngos-ngosan mengatur nafasnya. Berkali-kali ditatapnya tulisan di kaca itu, seakan tak percaya.
"Tapi, mbak. Mungkin masih ada satu atau dua lagi, kan?"
"Maaf, Dik. Dari jam 10, memang sudah habis"
Pernyataan itu membuat Hiraki menatap ke kakinya. Ia berdecak kecewa lalu berpaling ke belakang. Di sana, Kirei tengah menatapnya dengan perasaan kecewa pula. Digandengan tangan gadis itu. Mereka menuju sebuah kursi yang ada di bawah rindangnya pohon, masih dalam halaman auditorium kota.
Mungkin, sekiranya 10 menit, mereka berdiam diri, meluruskan nafas sembari dibantu oksigen yang dihasilkan pohon itu. Keringat yang membasahi baju pun, kini mulai terasa dingin. Jam yang terdapat di tangan kanan lelaki itu menunjukkan pukul 12.15.
"Kita berlari di tengah hari" Ucap Hiraki mulai stabil, namun nampak bibirnya masih pucat. Bahunya pun belum berhenti, masih naik turun.
"Rei..." Panggil lelaki itu. Namun, nampak Kirei masih kelelahan, tak bergerak sedikitpun untuk menatap Hiraki. Matanya terpejam, lebih merasakan udara segar yang dihirupnya dalam panas terik itu.
═════════════
Kepala Kirei menunduk, dahinya dibantali oleh kedua tangannya yang dilipat di taruh di atas meja makan. Oh, ia sungguh sangat kecewa! Rencananya sebelum jauh-jauh hari pupus sudah. Inginlah ia berteriak kesal, namun, apa bisa didengar orang?! Kedua tangannya pun mengepal, terluapkan dengan kepalan yang erat.
"Rei..." Suara itu membuat Kirei mendongak. Lelaki yang memanggilnya lembut tadi menarik kursi di sebelah Kirei. Kini gadis itu tidak menunduk lagi, namun menghadap kepada lawan bicaranya tapi masih dibantali kedua tangannya. Rasanya tak kuat harus membiarkan kepalanya berdiri tegak untuk sejenak, terlalu banyak pemikiran yang mengacaukan.
"Maaf... Ini semua salahku. Kalau saja aku mendengarkan kata-katamu untuk membeli tiketnya kemarin, mungkin kita akan kebagian".
Hiraki mulai menunduk. Agak lama tak kunjung bicara dan juga mendongak lagi. Akan tetapi, bulir air tiba-tiba menetes ke tangannya. Melihat hal itu, Kirei langsung mengangkat kepalanya dan menatap Hiraki benar-benar. Apa? Kukira keringat, tapi...
"Aku pasti membuatmu kecewa, kan?" Tapi itu air mata. Suaranya bergetar menahan tangis kesal. "Tak apa kalau kamu kesal padaku, aku takkan menajuhimu. Ini salahku, salahku, salahku! Berharap seumur hidupku aku takkan membuatmu kecewa, namun itu gagal. Maafkan aku, Rei..."

KAMU SEDANG MEMBACA
Yell in a Silent
Teen FictionNamaku Kirei, yang artinya "Indah". Tapi hidupku ini tidaklah indah sebagaimana namaku. Aku bernafas, aku hidup, layaknya manusia pada umumnya. Tampilanku biasa, tiada suatu pun yang spesial, yang mana bisa membuatmu betah melihatku lama-lama, dara...