Angin pagi yang masih dingin, memang membuat mata siapapun yang diterpanya ingin terus menutup. Sejuk, menenangkan, nyaman...ah, rasa-rasanya ingin terus membenamkan tubuh dibalik tebalnya selimut. Apalagi, ditambah langit yang terlihat mendung. Tidur mungkin akan sangat-sangat sempurna.
Yah, sekuat apapun keinginannya untuk terjun ke atas kasur, Kirei harus melakukan hal yang bersebrangan dengan angannya itu. Dengan matanya yang sayu, ia masuk ke dalam kelasnya. Di sana, ia bisa melihat beberapa temannya yang sudah duduk sendiri-sendiri dengan name tag yang menggantung di sakunya. Ia menyusuri tiap meja, mencari no yang sesuai.
Berhentilah ia pada sebuah meja. Ditiliknya beberapa kali no yang tertera pada meja itu, kemudian di samakannya dengan no yang ada di name tag-nya. Bibirnya tersenyum kecil. Bagus sekali, ia duduk di dekat kaca jendela, bangku kedua dari belakang pojok kiri.
Ia pun duduk di kursi itu, dibawasnya buku materi dari tasnya. Buku yang hendak ia baca nyatanya terbengkalai. Matanya menatap lurus ke luar jendela dan satu tangannya menopang di dagu. Melihat kawanan burung yang bertengger di kabel listrik, ia tersenyum seakan bahagia. Tak lama, burung-burung itu pun terbang entah ke mana.
Entah bagaimana, pikirannya kini teringat pada seorang gadis di lampu jalanan. Diingat-ingatnya bagaimana sang gadis bernyanyi. Makin terasa bayangannya, ia seperti kembali pada jalan itu. Perasaan apa ya, senang? Bukan, sepertinya wajah musisi jalanan itu sedih. Sedih? Sepertinya tidak bisa dikatakan juga. Lalu...?
"Menikmati sekali"
Kirei pun terperajat. Ia sadar dari lamunannya dan langsung menengok ke kanan.
Menikmati? Ah mungkin yang paling tepat! Menikmati... meresapi... merasakan... ya! Perasaannya mungkin seperti itu!
Ptik! Ptik! Jean menjentikkan jarinya seperti biasa. Namun, wajahnya kini agak kesal, melihat gadis di hadapannya melamun kembali setelah tahu ada dirinya. Kirei mengacungkan dua jarinya, telunjuk dan jari tengah sebagai permintaan maaf.
"Kamu masih memikirkan sekolah lanjutan?"
Gadis itu pun menggeleng. Lantas diberikannya tiga jari ke hadapan Jean sebagai jawaban.
"Ha? SMA 3?!" Suara Jean hampir setengah berteriak. Matanya melotot dengan mulut yang masih menganga. Ada beberapa detik ia tetap seperti itu. Suaranya hendak berbicara, namun yang terdengar hanya patahan kata-kata karena tergagap. Ia terlihat tidak tenang saat itu.
Rei memiringkan kepalanya spontan karena merasa aneh? Apa salahnya?
"A-ah ya, tidak. Tidak apa-apa. B-bagus lah kalau kamu sudah menemukannya..."
Keanehannya makin terasa saat ucapan pemuda itu lama-lama mengecil seperti hampir berbisik, namun tetap juga terdengar oleh gadis itu. Tapi tak terlalu digubrisnya masalah keanehan, Rei langsung menanyakan balik tentang sekolah lanjutan Jean dengan menunjuk pemuda itu.
"A-aku? Ya, aku juga ingin masuk tiga, Rei"
Teng...Teng... Bunyi bel sekolah tiba-tiba saja mengagetkan semua. Seorang wanita masuk dengan rambutnya yang disanggul sembari membawa berkas-berkas di tangannya. Kedatangannya itu membuat murid-murid memasang ekspresi panik. Begitu pun Kirei, sial sekali, kenapa ia tak membaca materi? Malah melamun tanpa guna!
"Hei, Kirei! Good luck ya!"
Suara Jean membuat Rei kembali fokus padanya. Ia tersenyum dan segera pergi ke belakang kelas. Eh? Bangkunya ada di belakangku? Rei terdiam sejenak memperhatikan Jean yang sibuk mengeluarkan alat tulis, tetapi seperti agak syok wajahnya.
Tak lama, gadis itu pun kembali menoleh ke depan. "Kenapa pula dia harus risau? Ku pikir dia mengerti semua materi ulangannya" Lalu, dibuangnya pikiran mengenai lelaki itu dan disiapkannya alat-alat tulis ke atas meja.
═════════════
Seorang lelaki berdiri menyender pada besi pagar balkon sekolah. Sesekali kepalanya menengadah mentari di atas sana. Sangat kuatnya ia, sampai mata lelaki itu tak mampu untuk melihat. Di tangannya terdapat sekaleng soda, yang diminumnya ketika ia mulai merasa bosan.
Saat ia sedang meneguk soda dengan nikmatnya, tiba-tiba saja badannya hampir oleng. Membuat ia tersedak meminun itu, tahulah bagaimana rasanya tersedak soda? Seperti semut-semut menggigit kerongkonganmu. Hiraki terbatuk-batuk, tangan kirinya tak henti menepuk-nepuk dadanya agar berhenti.
"REI!!!" Sentak pemuda itu agak marah setelah batuknya berhenti. "Bisa tidak kamu tak perlu mendorongku seperti tadi?!"
Tak dihiraukannya amarah itu, ke hadapan Hiraki, ia menyodorkan selembar brosur. Saking semangatnya, kertas itu dihadapkan terlalu dekat dengan mukanya, sehingga Hiraki pun menariknya dari tangan Kirei lalu membacanya sendiri. Sembari meneguk sodanya lagi, kedua pupil mata itu bergerak dari kiri ke kanan, terus berulang.
"Pertunjukan musik?"
Gadis itu mengangguk membenarkan.
"Waktunya minggu depan. Setelah selesai ujian, kan? Kamu mau lihat, maksdunya?"
Rei mengangguk lagi.
Brosur itu ditatap Hiraki agak lama. Kaleng soda di tangannya diputar-putar lalu diteguknya lagi, nampaknya itu tetes terakhir. Di lemparnya kaleng itu ke tong sampah, tanpa melihat, kaleng itu pun masuk tidak meleset.
Pemuda itu mengangkat wajahnya menatap Rei. Tatapan mata Kirei pun menunggu jawaban Hiraki. "Boleh, kok"
Sontak saja jawaban itu membuat bibir tipisnya merekah lebar. Matanya berbinar-binar pada Hiraki saking senangnya. Wah, ini kali pertamanya ia datang ke acara seperti ini! Tak bisa dibayangkan jadinya bagaimana.
"Rei" Suara lelaki itu membuat Rei yang sedang membayangkan pun melihat ke arahnya.
"Brosurnya kok basah, sih?" Tanya Hiraki sembari meraba-raba bagian yang basah itu. Sambil tersenyum, Rei menunjuk tempat sampah yang ada di ujung sana, tepat di depan ruang kelasnya, Brosur itu terlepas dari genggaman Hiraki.
"Oh, aku ingin berkata kasar..." Suara Hiraki terdengar seperti menahan kekesalannya. Ia lantas mengelap tangannya itu pada tembok. "Kamu sudah berapa lama sekolah di sini, Rei? Kupikir kamu mengambil brosur ini dari kotak di sebelah mading..."
Ghehehe... I'm sorry... Yah, gadis itu hanya tersenyum dengan pipi yang agak memerah karena merasa bersalah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Yell in a Silent
Fiksi RemajaNamaku Kirei, yang artinya "Indah". Tapi hidupku ini tidaklah indah sebagaimana namaku. Aku bernafas, aku hidup, layaknya manusia pada umumnya. Tampilanku biasa, tiada suatu pun yang spesial, yang mana bisa membuatmu betah melihatku lama-lama, dara...