"Lo istirahat aja," berulang kali Ari memberi perintah seperti itu pada Rachel yang duduk di sebelahnya. Dan jawaban yang diberikan Rachel tetap sama, sebuah gelengan kepala. Ia tak lagi peduli pada wajah pucatnya efek habis pingsan. Sampai tak lama kemudian, suara mesin motor dimatikan terdengar dari luar rumah. Kemudian, masuklah Rey dengan air wajah sarat akan kekhawatiran. Ia berlutut dihadapan Rachel dengan tangan menopang pipi sahabatnya itu.
"Lo nggak papa?" Tanya Rey yang diberi anggukan oleh Rachel. "Maaf, gue bener-bener nggak tahu kalau sampai kayak gini. Gue nyesel banget ninggalin lo tadi. Gue--" ucapan Rey terpotong tatkala bahunya ditarik paksa untuk berdiri.
"Kalau lo emang niat nganterin, bawa Rachel sampai rumah! Bukan ditinggal di toko buku sendirian, bego!" Marah Michelle dengan wajah memerah. "Harusnya lo lebih prioritasin Rachel ketimbang ekskul futsal lo yang nggak penting itu!!!"
Rey mendongak, menatap dengan tidak percaya pada Michelle. Ia tahu dirinya salah, tapi tidak sepenuhnya sebab Rachel sendiri yang meminta untuk ditinggalkan. Dengan menarik napas, Rey coba meluruskan tanpa mencoba berbicara kasar. Ia masih ingat, kalau perempuan dihadapannya ini adalah seorang sahabat. "Gini, Ce. Lo nyuruh gue ngeprioritasin Rachel daripada ekskul yang kata lo nggak penting itu. Coba deh, sebelum lo ngelempar tuduhan, lo koreksi diri lo sendiri. Gue tanya, kenapa lo prioritasin ekskul musik lo? Ekskul lo emang luar biasa penting? Sampai harus nebengin Rachel ke gue?"
"Maksud lo ngomong gitu apa?!" Tanya Michelle nyolot. Dia terbakar oleh ucapan Rey. Michelle menangkap, laki-laki itu tengah menghina dirinya. Padahal yang dilakukan cowok itu hanya membeberkan apa yang selama ini Michelle lakukan salah; gencar menilai orang lain, tapi tidak mau melihat diri sendiri. "Kalau lo salah ya ngaku salah!!!"
"Udah," kata Rachel. "Jangan berantem."
Tapi sayangnya, mereka berdua tetap melanjutkan perdebatan panas itu. "Gue bukan pengecut yang takut ngakuin kesalahan," ucap Rey masih tenang. "Gue emang salah, tapi, menurut gue nggak sepenuhnya kesalahan ada di diri gue!"
"Lo nyindir gue?!" pekik Michelle tidak terima.
"Apa karna lo sahabat gue, itu nutup akses buat gue diem aja lo tuduh-tuduh?!"
"Oh, lo sekarang gitu sama gue?!" Michelle menatap Rey tajam. "Lo nggak suka sama sikap gue ini? Lo benci sama ucapan gue yang emang fakta? Bukannya lo pernah bilang, kita harus menghargai sikap dan sifat apapun milik orang lain. Lo lupa? Hah, banci emang!"
"Udah, Chelle, udah." Audrey meraih bahu Michelle yang naik turun dikuasi emosi. Audrey memang berada disini. Michelle yang mengajaknya, sebab tadi tengah berada di rumah Michelle untuk bermain. "Masalah nggak bakalan selesai kalo lo nya nggak ngontrol diri gini."
"Diem!!!" Bentaknya keras.
Audrey tersentak. Sedikit kaget dengan respon yang diberikan Michelle, perempuan yang baru dikenalnya beberapa minggu ini. Tapi Audrey memaklumi. Ia cuma orang baru yang masuk ke dalam tengah-tengah persahabatan mereka. Jadi, Audrey tidak ingin dikata ikut mencampuri urusan.
"Kenapa lo diem, banci?!" Pekik Michelle lagi.
Ari buru-buru bangkit, mencoba menenangkan Michelle meski cewek itu tidak mau. Sementara Angel mengusap-usap bahu Rachel yang mengeluh kembali sakit pada bagian kepalanya.
"Sabar ya, Chel. Om Ferdi sama Tante Nindi udah perjalanan ke sini," kata Angel sambil memeluk gadis yang sedang memejamkan mata itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rachel (SELESAI)
Teen Fiction[Jangan lupa follow dulu yaa] Ketika bibir susah berkata, ada hati yang senantiasa bicara. Cinta bukan melulu bahagia, itu cuma kiasan dari hubungan yang baru di mulai. Semesta tidak segampang itu memberi izin dua insan punya tuju, ada luka yang sej...