Kertas XXXII

2.4K 183 34
                                    

Karevan menatap Michelle yang sedari tadi mengembangkan senyum. Bahkan tak biasanya gadis tersebut segirang ini. "Lo kenapa, sih?" Akhirnya, Karevan angkat bicara.

"Kenapa apanya?"

"Lagi seneng?"

Dirangkulnya lengan Karevan dengan posesif. "Iyadong, makasih, ya, udah mau nganter."

Karevan mengangguk dengan tangan membuka pintu. Ya, ia membawa Michelle ke rumah karna katanya gadis itu hendak main dengan Audrey, nanti.

Nggak ada capek-capeknya perasaan.

Audi menyambut mereka yang barusaja masuk ruang keluarga. Ibu rumah tangga itu pun beranjak ke dapur untuk membuatkan Michelle minum. Tadi ia sempat menolak, tapi karna Audi mengatakan, "Habis kemo pasti butuh nutrisi lagi, udah nggak papa. Kamu kayak sama siapa aja, Chelle." Ya, dari sini sudah Michelle simpulkan bahwa ibunda Karevan sudah menerima ia.

"Kak,"

"Hm?" Sahut Karevan dengan membuka jaket hitam hingga menyisakan kaos pendek abu-abu. Sejenak, Michelle terpesona dengan ketampanannya. "Chelle?"

"Eng..." Michelle salah tingkah. "Minggu ke Monas, yuk!" Katanya tiba-tiba dengan wajah berseri. "Ya, ya? Please.."

"Kan lo kemo, Chelle."

"Udah nggak papa, sekali-sekali bolos."

Dahi Karevan berkerut. "Nggak-nggak. Lo gimana, sih? Kok ngegampangin banget? Pokoknya enggak."

"Kemonya diundur senin, deh," rayu Michelle lagi dengan mata memelas. "Ayo dong, Kak. Gue pengen banget ngerasain hidup normal. Kayak cewek-cewek pada umumnya."

"Ya, tapi..."

"Lo ngeraguin gue?" Potong Michelle. "Bukannya lo sendiri yang bilang kalau gue itu bisa kayak mereka?"

Karevan menghela napas. "Tapi, 'kan--"

"Ayolah, Kak. Ya?"

"Iya..."

"Janji?" Mata Michelle langsung berbinar. Karevan mengangguk sambil mengusap kepala gadis itu, kemudian bangkit dari duduknya, hendak ke kamar mandi. Tiba-tiba, dari arah samping, Audrey menabrak tubuhnya. Karevan terkejut. "Kamu kok pulang? Bukannya jam segini masih pelajaran?"

Audrey tak membalas, gadis itu cuma menatap Michelle, lalu melangkah ke lantai atas menuju kamarnya.

"Ody!"

"Gurunya rapat," balas Audrey sebelum benar-benar hilang di balik tembok.

🥀

"Al, gimana kalau terjadi apa-apa sama Rachel?" Tanya Angel cemas. Aldi menggerakkan lagi sendok berisi makanan pada gadis tersebut. "Udah, ah! Kenyang!"

"Baru lima suap,"

Tak menjawab, Angel malah memeluk Aldi. Ia menyerukkan wajahnya di leher laki-laki itu, mencari kenyamanan. "Al.."

"Rachel nggak papa, lo harus percaya. Banyak-banyakin doa dan berpikir positif."

"Apa separah itu lukanya?" Tanya Angel retorik, ada getaran di suaranya. "Gue tahu sih, kalau nggak parah pasti nggak akan di operasi."

Aldi menempatkan dagunya pada puncak kepala Angel, menerawang tragedi beberapa jam lalu. "Entah apa yang dia pikirin sampai nggak tahu kalau ada mobil yang jalan ke arahnya. Kejadian tadi cepet banget, dan gue nggak ditakdirkan nolong dia. Rachel kepental lima meter, Ngel. Gue yang khawatir langsung nyamperin." Jeda sejenak. "Rachel posisinya masih sadar waktu gue pegang tangannya. Kepalanya itu.. gue nggak bisa jelasin segimana parahnya karna darah emang keluar nggak berhenti-berhenti." Bisa Angel rasakan dengan jelas kesakitan Aldi. "Sebelum Rachel nutup mata, samar gue denger dia ngucapin satu nama. Dan gue yakin, orang itu yang bikin dia kacau sekacau kacaunya."

Rachel (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang