Hari ini wekeend. Biasanya, Karevan akan menghabiskan akhir pekan bersama Rachel. Tapi keadaan sudah berubah. Kini, ia cuma ditemani Michelle. Memang tidak buruk, tapi tak seindah saat dengan kekasih.
"Ini beneran agenda kita lari?" Tanya Karevan ragu. Ia sudah siap dengan celana kain abu-abu serta kaos pendek polos senada.
"Yakin, dong. Yuk!"
Sampai di Monas, mereka sepakat untuk lari lima putaran. Ternyata, Michelle yang masih semangat, menambah putaran menjadi 2 kali. Setelahnya, mereka duduk dengan napas terengah-engah. Juga tawa yang belum mau berhenti. Ya, yang membuat Michelle mau berlama-lama lari adalah karna kekonyolan Karevan. Tak salah memang ia jatuh cinta, karna cowok itu pandai sekali menciptakan kenyamanan.
"Capek, nggak?" Tanya Karevan sambil membukakan tutup botol air mineral, dan memberikannya pada Michelle ketika telah terbuka. "Nih, diminum."
Michelle tersenyum lalu menegak air dingin itu. Ia memang sangat-sangat haus. Tapi, seketika pipinya memerah karna sadar kalau Karevan daritadi memandangi. Aduh, lihatin gue sampai kayak gitu. Nggak salah lagi, Revan udah mulai suka nih sama gue! Bener banget, ya, kata pepatah: cinta datang karna terbiasa. Jadi nggak sabar nunggu Revan ngungkapin semua perasaannya ke gue. Aaaa!
"Jangan diliatin mulu, entar suka," celetuk Michelle yang kontan saja membuat Karevan menggeleng.
Gue lihatin lo karna ada yang aneh. Orang sakit leuikimia biasanya langsung pingsan diajak lari-larian gitu. Ini kenapa enggak? Bahkan buat pucet aja wajah lo nggak mengekspresikan itu. Gue kenapa, sih? Kenapa gue jadi negatif gini, ya, ke lo, Chelle?
"Eh," Karevan terlonjak saat Michelle menggenggam tangannya. Karevan meraih balik tangan Michelle, lalu dilepasnya secara perlahan. "Jangan gini, Chelle."
"Ih, kenapa?" Michelle merengek dengen memberenggut. Ia kembali meraih tangan Karevan secara paksa, kali ini tidak dibiarkan untuk terlepas. "Biarin kayak gini, enak tahu!"
Dan Karevan hanya bisa pasrah, ia juga harus merelakan bahunya dijadikan tempat bersandar. Lagi-lagi, Karevan tidak bisa menolak ketika Michelle memberikan alasan yang sama. "Kepalaku pusing, bawaan penyakit. Kakak bisa ngertiin aku 'kan?"
Karna rasa tidak tega, Karevan akhirnya lebih membawa Michelle mendekat. "Makanya, lain kali jangan ngajak gue joging kalau lo sendiri nggak sehat."
Michelle cemberut. Hendak membalas, tiba-tiba Karevan ditarik ke depan. Sebuah pukulan telak di rahang tak lagi bisa Karevan hindari. Berkali-kali. Barulah ketika ia tersungkur, ia tahu pelakunya adalah, "Aldi?! Ngapain lo mukul gue?! Gila, ya, lo?!"
"Udah hampir seminggu dan lo nggak ada tanda-tanda buat nyamperin dia? Bangsat!"
"Dia siapa?!"
"Cewek lo!"
"Jadi, lo nyamperin gue ke sini cuma mau nyuruh gue supaya baikan sama Rachel? Wih! Peduli amat lo, Al? Segitu sayangnya kah sama cewek gue?"
Terpancing, Aldi kembali memberi pukulan pada Karevan.
"NGGAK TAHU DIRI LO! CEWEK LO ITU BERJUANG MATI-MATIAN SUPAYA BISA DAPETIN KATA MAAF DARI MULUT LO! DIMANA RASA SAYANG LO SEBAGAI COWOKNYA, HA?!"
Karevan diam, pasrah.
"KALAU GUE JADI LO, NGGAK BAKAL GUE BIARIN RACHEL TERLUKA! HARUSNYA LO BANGGA, DALAM KEADAAN PALING LEMAH AJA DIA MASIH MIKIRIN LO! SEDANGKAN LO SENDIRI MALAH MESRA-MESRAAN SAMA CEWEK LAIN! SEBENERNYA YANG SELINGKUH ITU LO, BUKAN RACHEL!"
"STOP, ALDI!" Tubuh Aldi didorong seseorang. Walau tak seberapa kuat, Aldi tetap menyingkir dari posisinya. Tertangkaplah adegan menjijikan saat itu, dimana Michelle membawa kepala Karevan untuk diletakkan di pahanya. "Kak, lo nggak papa?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Rachel (SELESAI)
Teen Fiction[Jangan lupa follow dulu yaa] Ketika bibir susah berkata, ada hati yang senantiasa bicara. Cinta bukan melulu bahagia, itu cuma kiasan dari hubungan yang baru di mulai. Semesta tidak segampang itu memberi izin dua insan punya tuju, ada luka yang sej...