Kertas IX

3.9K 236 19
                                    

Sudah dari seminggu lalu Rachel stres memikirkan cara supaya Michelle dan Rey berbaikan. Berulang kali pula Audrey menyemangati, karna sekarang ia lebih memilih dekat dengan Rachel, selepas dibentak oleh Michelle malam itu. Bukan Audrey takut, ia hanya ingin memberi ruang Michelle buat berpikir.

Rachel menghela napas. Ini hari Minggu. Diraihnya slingbag kemudian turun ke lantai bawah untuk kemudian disambut dengan aroma bolu buatan Mama.

"Eh, sayang, sudah siap?" Rachel mengangguk seraya mencomot potongan bolu bertopping keju. "Sudah ditunggu sama Ryan. Mama anterin, ya?"

"Ma..."

Adalah nada suara milik Rachel yang membuat Nindi menghela napas. Cuma sebentar. Karna air wajah bersedih itu telah digantikan oleh senyuman. Ibunda adalah orang yang paling pintar melakukan hal terbaik. "Iya, sayang, Mama percaya sama kamu. Rachel 'kan sudah besar. Sudah nggak perlu Mama lagi."

"Aku berangkat, ya," pamit Rachel sambil mengecup pipi sang Ibunda kemudian menyalami tangannya, ia tak mau berlama-lama ada dalam situasi tak mengenakkan ini.

"Hati-hati, ya, sayang. Nanti kalau nggak bisa pulang sendiri hubungi Mama. Kan biasanya lemes kalau habis..." ucapan Nindi terhenti tatkala Rachel yang hampir menggapai pintu, menatapnya dengan pandangan sendu. Nindi memejam, ia kembali tak dapat menahan kekhawatirannya. "Iya Rachel bisa, Mama ngerti, Mama paham."

Menghela napas sebentar, dengan mantap ia keluar rumah. Udara lumayan sejuk meski sudah pukul delapan lebih. Hari ini Rachel punya janji. Janji yang lebih penting ketimbang menemui Ryan. Setelah sampai di lokasi tujuan, ia langsung disambut senyum oleh Karevan.

"Selamat pagi," katanya dengan mengacak-acak rambut Rachel, seperti biasa. "Kangen..."

Rachel tersipu, selalu begitu. Entah memang Karevan sengaja memfrontalkan hasrat hatinya atau tidak, laki-laki itu tak malu mengakui. Seolah tidak ada kata rahasia untuk Rachel. Terbuka. Cuma seada-adanya.

Tangan Karevan yang daritadi bertengger di kepala, kini beralih melepas kupluk hitam yang tengah cewek itu pakai. Cuma untuk digantikan dengan kupluk yang tadi ia beli. Warnanya merah marun, cocok sekali dengan warna sweater yang sedang Rachel gunakan. "Untuk si blushing."

Senyum Rachel mengembang, "Makasih, aku belum punya yang warna ini."

Karevan menatap Rachel dengan lega, namun tak lama kemudian ia berucap, "Wajah kamu kok pucet?" yang sarat akan ke khawatiran. Rachel menegang, ia sadar telah melewatkan sesuatu dengan sengaja. "Chel?"

Terdengar bunyi ponsel berdering, yang ternyata dari tas Rachel. Diambilnya untuk kemudian menslide layar. Bukan menyelamatkan, ia malah lebih banyak mendapat pertanyaan berupa, "Kenapa nggak diangkat? Kok kelihatan panik? Namanya Ryan, laki-laki 'kan? Siapa? Pacar? Kamu selingkuh?"

Rachel melotot tak terima. "Selingkuh apa? Ngaco! Pacar aja nggak punya."

"Punya," kata Karevan tak kalah nyolot.

"Ih, enggak."

"Punya, Rachel."

"Mana ada,"

"Kamu kok ngeyel?"

"Memang nggak ada. Terus siapa?"

Rachel (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang