Kertas XXXVI

4.4K 268 58
                                    

Karevan menatap telapak tangannya yang berkeringat dingin, entah karna gugup atau cemas. Hari ini, ia sudah menamankan tonggak jika akan mengakhiri semua permasalahan dengan Rachel. Keputusannya sudah tepat, sebab segala sesuatu yang telah dimulai harus sesegera mungkin diakhiri.

Karevanan berjalan di koridor Rumah Sakit. Ia didampingi Audrey menuju ruangan Rachel setelah tahu dari seorang suster yang lewat.

"Bismillah aja," Audrey mengusap lengan Karevan lembut sebab kakaknya itu kelihatan tidak tenang. "Gue yakin, semua bakalan baik-baik aja kok."

Karevan mengangguk. Mereka mendekati beberapa orang yang terduduk di depan ruangan Rachel. Perasaan Karevan jadi tidak karu-karuan, pasalnya semua mimik wajah yang ia lihat tak bisa membuktikan bahwa sang kekasih dalam kondisi baik-baik saja.

"Selamat pagi, semua," sapa Karevan canggung. Kontan, semua perhatian tertuju ke arahnya dan juga Audrey. Angel bangkit, diikuti Aldi serta Rey.

"Ngapain lo dateng, ha?!" Tanya Angel sambil mendorong lengan Karevan kuat. Ia hanya diam sebab dirinya memang salah. "Udah sadar lo?!"

"Ngel..." Aldi hendak meraih Angel, tapi gadis itu malah menyentak,

"Apa?!"

"Jangan kayak gitu," peringat Aldi lembut.

"TAPI COWOK INI UDAH KURANG AJAR BANGET, AL!" Teriaknya murka sambil menunjuk Karevan dengan air mata berlinang. Aldi buru-buru membawa gadis itu dalam pelukannya sebelum histreria terjadi ditengah-tengah ketegangan ini.

"Iya, tahu. Udah, ya. Nurut sama gue!" Bisik Aldi tegas, tapi tidak ingin dibantah. Angel hanya bisa diam, menatap Karevan penuh kebencian. "Maafin Angel. Gue seneng akhirnya lo dateng," imbuh Aldi yang sudah menoleh ke arah Karevan.

"Gue nggak terlambat 'kan, Al?" Tanya Karevan sedikit serak, ia tiba-tiba merasa tercekat.

A

ldi hanya mengendikkan bahunya. "Gue nggak tahu, Rev. Dari awal kondisi Rachel memang nggak baik-baik aja, dia kritis. Tapi.."

"Tapi kenapa?" Potong Karevan cepat, dadanya tiba-tiba berdesir. "Rachel sekarang baik-baik aja 'kan, Al?!"

Aldi menepuk bahu Karevan, coba menenangkan. "Doain aja, ya. Dokter Andre di dalem lagi berjuang buat balikin detak jantung Rachel yang tadi sempet berhenti.."

Bunga di tangan Karevan terjatuh. Tenggorokannya kering. Dalam sekejap, tubuhnya mati rasa. Ia tahu dirinya salah, tapi sejahat itukah Tuhan hingga tak memberikan ruang untuk meminta maaf terhadap Rachel? Karevan benar-benar belum siap bila kehilangan orang yang telah disia-siakan selama ini, perempuan yang sumpah mati Karevan cintai.

"Semoga Tuhan ngasih kesempatan," Rey menepuk bahu Karevan, memberi dukungan moral.

Dokter Andre keluar, Nindi dan Ferdian mendekat, diikut yang lain. "Bagaimana keadaan anak saya, Dok?" Tanya Ferdian sambil merangkul Nindi yang nampak terpukul oleh keadaan.

Dokter Andre tersenyum segaris. Keringat dari berbagai penjuru dahinya mengalir. Pun, Dokter Andre yang kali ini memakai baju setelan berwarna hijau itu menghembuskan napasnya panjang. "Tuhan memiliki takdir lain Pak, saya tidak bisa berbuat apa-apa. Rachel telah berjalan ke rumah barunya..."

Setelah itu, yang terdengar adalah tangisan kecang dari Angel, Nea, dan Audrey. Nindi langsung pingsan dengan ditangkap Ferdian nampak menguatkan diri. Diujung ruangan, Ari merosot ke lantai, ikut hancur mengetahuinya. Pun Rey menendang kursi sambil menjambak rambut frustasi, matanya memerah. Sedang Aldi? Cowok itu terpukul. Ia hanya bisa menangis ditengah-tengah pelukan menenangkannya untuk Angel. Sudah tidak dapat dideskribsikan lagi sesaknya seperti apa.

Rachel (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang