Kertas XXX

2.4K 177 34
                                    

Sejak mendapat kabar Rachel jatuh pingsan dari kemarin siang, Aldi langsung pergi ke rumah sakit. Padahal di hari itu juga ia sedang ada janji dengan Angel, janji untuk menebus kegagalan jalan-jalan selepas perdebatan perkara siapa yang mengantar Rachel pulang. Sampai pagi ini, Aldi belum sama sekali pulang karna sangat-sangat khawatir dengan gadis pengidap leukimia tersebut. Ya, meskipun berulang kali Rachel sudah mengalami pingsan panjang seperti ini, tetap saja Aldi takut.

"Kamu kenapa lagi, sih, Chel?" Katanya seraya menggenggam tangan gadis itu.

"Nak Aldi yakin tidak mau sekolah?" Tanya Nindi yang ada di sebrang brankar. "In Syaa Allah Rachel nggak akan kenapa-kenapa, Nak."

Aldi cuma tersenyum, lalu menatap Rachel lagi dengan cemas tanpa menjawab pertanyaan Nindi. Pasti sekiranya ibunda dari gadis yang ia cintai itu paham dengan situasi yang ia hadapi. Dan benar saja, tak lama Nindi keluar ruangan dengan pamit hendak ke kantin bawah rumah sakit.

"Chel, bangun. Tega banget dari kemarin bikin khawatir?"

Pintu terdengar berdecit. Aldi tak mau menoleh, ia cuma memandang wajah Rachel yang pias penuh damai. Barulah ia tahu siapa yang masuk ketika orang itu bersuara, "Ngapain lo masih di sini?" Dengan nada suara kentara sekali risih.

"Ada masalah sama lo?"

Ryan menggertakkan gigi, sangat tidak suka. "Lo bisa mengganggu istirahat dia. Mending lo sekarang pulang, nggak usah sok care karna Rachel nggak butuh belas kasihan. Paham?!"

"Ngomong apa sih?" Tanya Aldi datar. "Bacot mulu. Sebenarnya yang ganggu Rachel itu lo, bukan gue. Daripada buang tenaga, mending check pasien. Biar 'kemampuan' lo itu berguna. Ngerti?"

Kalau saja Ryan tak ingat sedang berada di Rumah Sakit, pasti Aldi sudah ia buat tak bisa bangun sekarang. Kesal, yang cuma bisa ia lakukan adalah pergi dari ruangan steril tersebut dengan tangan mengepal.

🥀

Sudah dari dua jam yang lalu Rachel bangun. Yang pertama kali ia lihat tadi adalah sang mama. Tapi sekarang wanita paling hebat itu sedang pulang ke rumah untuk mengganti pakaian dan membawakan Rachel baju. Sementara Aldi baru beberapa menit lalu keluar untuk membeli makanan.

Rachel adalah gadis yang mudah bosan bila cuma diam tak melakukan apa-apa. Ia pun mengambil ponselnya di atas nakas. Tidak ada notifikasi masuk dari Karevan yang obrolannya ia sematkan. Terakhir kali ia chat, hanya di read. Last seen laki-laki itu juga baru beberapa menit yang lalu. Rachel menghela napas. Dibukanya obrolan bersama Michelle yang tak ia balas. Masih ia simpan potret Karevan yang dikirim itu. Seketika Rachel ingin sekali Karevan ada di sini. Menyuapinya, mengusap kepalanya, atau paling tidak memberi senyuman seperti yang dulu-dulu padanya.

"Kak," katanya serak menatap foto-foto di folder yang bernama 'kita'. "Aku sudah tahu siapa yang buat hubungan kita retak.."

Rachel berdehem ketika tenggorokannya dirasakan tercekat. "Kak, ingat nggak dulu Kak Karev bilang apa?" Tanya Rachel pada gambar Karevan di ponselnya. "Kakak bilang, kalau ada orang yang berani bikin Rachel nangis, Kakak bakalan hajar orang itu sampai babak belur." Kekehnya mengingat percakapan di taman beberapa waktu lalu. "Tapi, Kak. Kalau orang yang bikin aku sekarang ini nangis adalah Kak Karev, apa yang bakalan kamu lakuin?"

Entah sudah berapa kali Rachel menangisi orang yang sama. Kapan ini akan berlalu? Kapan dia bisa kembali tertawa dengan Karevan? Kapan juga Tuhan mengabulkan doa-doanya? Kapan?!

Rachel tidak marah, sama sekali tidak. Ia hanya menyayangkan pemikiran Karevan. Laki-laki itu mudah percaya pada sesuatu yang belum realistis.

"Man.."

Rachel terlonjak. Ia mendongak. Lalu matanya menemukan sosok Ryan yang tengah mendekat. Wajahnya kelihatan lelah. Tapi ada senyum di sana. "Syukurlah kamu sudah sadar, Man."

"Nama saya Rachel, bukan Amanda. Yang boleh panggil saya Amanda hanya Kak Ryan," tuding Rachel tajam dengan tubuh menghindari Ryan.

"Aku ini Ryan. Ada-ada aja kamu, baru bangun juga." Kekehnya tak bertahan lama karna Rachel langsung memekik,

"Bukan!" Ryan mengangkat alisnya tidak paham. "Ryan yang aku kenal menyayangi sosok Amanda bukan dengan niat melenceng!"

Ryan semakin tidak mengerti. Diraihnya lengan Rachel, tapi gadis itu langsung berteriak. "Kamu kenapa, sih, Man? Jangan bercanda begitu, deh."

"Jangan mendekat!" Balas Rachel keras. Kini gadis itu telah berdiri di bagian kiri brankar dengan mata terus mengawasi pergerakan Ryan. Yang semakin lama semakin memotong jarak.

"Manda, sayang, ada apa?"

"Minggir, saya mohon!"

"Man.."

"Tolong..."

"Tapi--"

"Pergi!!!" Pekik Rachel kuat-kuat saat Ryan merangkulnya. Gadis itu meronta-ronta, tanpa memperdulikan selang infusnya yang terlepas dan mengeluarkan banyak darah. "Lepas!!!"

"Manda, tenang, aku ini Ryan."

"LEPAS!!!" Teriak Rachel murka, ia semakin tak terkendali kala Ryan mempererat pelukannya. "SAYA MOHON LEPAS!!!"

"Sebenarnya ada apa sih, sayang?!" Setelah berkata seperti itu, Rachel mendorong tubuh Ryan kuat-kuat hingga membentur brankar. "MAN!"

"Anda pengrusak, Ryan!" Rachel menatapnya nyalang. "ANDA PENGRUSAK!"

"Pengrusak apa?!"

"Hubungan saya dengan dia, kamu yang merusak!" Rachel lantas menunduk, ia menggeleng-geleng. Tangisnya kembali pecah. Dadanya sesak seperti ditekan ribuan tangan tak kasat mata. "ANDA PENYEBAB SEMUANYA TAK TERKENDALI!" Rachel merosotkan badan ke dinding dengan tangan memegang kepala. Kemudian menangis sejadi-jadinya. Orang yang ia cari selama ini telah ia temukan. Ia marah, ia benci. Tapi Rachel tetaplah Rachel. Ia tak akan pernah bisa melampiaskannya, kecuali dengan meraung-raung, "ANDA PENGRUSAK!!!"

Ryan yang sedari tadi coba bersabar, akhirnya tersulut emosi. Ia membenarkan jas putih kebanggaannya kemudian berdecih. "Kamu yang tidak tidak terkendali. DASAR GILA!"

Mata memejam Rachel terbuka. Isaknya berhenti. Ucapan Ryan itu tengiang-ngiang. Gila? Apa benar Ryan mengatakan dirinya gila? Sungguh? Rachel mendongak, dilihatnya Rian tengah memandangnya penuh prihatin. Rachel memejamkan mata, ia tidak suka tatapan seperti itu; dikasihani.

Rachel bangkit walau sempoyongan. Ia berlari keluar dari ruangan itu tanpa lagi menoleh ke arah Ryan yang memekik. "Man, Manda! Mau kemana kamu? Manda!" Ternyata benar, kebaikan Ryan selama ini hanya topeng.

Tak ada yang benar-benar menyayangi ia dengan tulus. Itulah yang menyebabkan Rachel kurang percaya pada mereka-mereka yang cukup. Lantas kalau seperti ini, apalagi yang harus ia harapkan pada dunia? Sedang kebahagiaan saja tak mau mendekat.

Rachel lelah, sungguh. Dua kali, ia dilukai. Dan pelakunya adalah orang-orang terkasih yang ia miliki: Karevan dan Ryan.

Salahkah bila ia mengatakan, kebagiaan sebelumnya ialah kesakitan setelahnya?

Entah sudah sejak kapan langkah Rachel terhenti, ia terdiam dengan tatapan memaku ke arah bangku taman. Tolong beri tepukan pada dunia karna telah menghantam-hantamkan hatinya untuk kesekian pada hari ini.

"Tolong, bawa aku pulang.."

🥀

Rachel (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang