Bencana

3.1K 309 40
                                        

Eren terbangun disebuah ruangan berwarna putih, bau obat-obatan tercium menusuk ke dalam indra penciuman.

Kepala diperban serta tangan kiri terpasang selang yang terhubung dengan infus.

Tangan kanan yang tidak terpasang infus mengelus perutnya sendiri, tiba-tiba matanya terbelalak. Datar, tidak terasa ada tanda-tanda kehidupan di sana. Eren mendudukan diri begitu saja, tanpa memperdulikan luka di tubuhnya yang masih terasa sakit. Seharusnya dia masih di sini, karena sebelumnya dia di sini!

Kriettt

Pintu ruangan terbuka, Eren menoleh sebentar. Si mata empat yang sudah sangat dikenalnya masuk ke dalam, wanita itu tersenyum tipis saat matanya menangkap sosok Eren yang terduduk di atas ranjang.

"Bagaimana keadaanmu Eren?" tanya Hanji.

"Dokter Hanji, di...dimana bayiku?" Eren balas bertanya getir, baju pasien yang dikenakannya kusut di beberapa bagian akibat remasan jemari. Di pelupuk matanya sudah menggenang air mata yang siap jatuh membasahi wajahnya kapan saja.

Hanji tersentak sedikit, bingung ingin mengatakan apa pada Eren, wajahnya memancarkan raut kesedihan yang sama dengan Eren.

"Eren... karena kecelakaan yang terjadi padamu, menyebabkan kami harus segera melakukan operasi demi keselamatanmu. Namun ternyata bayi yang ada dalam perutmu juga bereaksi, seolah ingin keluar dari dalam perutmu padahal belum waktunya. Akhirnya aku memutuskan untuk melakukan operasi caesar, Namun sayang.... aku tidak dapat menyelamatkan satu orang anakmu"

Hanji berusaha memilih kata-katanya agar tak terlalu melukai perasaan Eren, meski tetap saja, dirinya pun tak dapat menyembunyikan raut kesedihan dari balik kacamata.

Eren menoleh cepat pada Hanji, matanya membelalak."Tidak dapat menyelamatkan satu orang anakku? Apa maksudmu Dr. Hanji?"

"Eren... kau mengandung anak kembar. Namun karena benturan cukup kencang yang kau terima menyebabkan salah satunya tidak dapat ku selamatkan...." lirih sang dokter.

"Aku mengandung anak kembar?" gumam Eren pelan.

"Lalu, ba..bagaimana kesehatan anakku yang satunya? Apa dia sehat? Tidak cacatkan?" lanjutnya khawatir, ia takut anaknya memiki kecacatan karena sikapnya yang kurang berhati-hati.

"Tenanglah, Eren. Dia sehat, setelah lahir aku memasukkannya ke ruang inkubator karena dia lahir sebelum waktunya."

"Apa aku bisa melihat anakku?" tanya Eren lirih. "Ya, Eren kau bisa melihat anakmu, namun hanya dari luar ru-" Hanji menjelaskan, saat belum selesai Eren memotong.

"Bukan, maksudku anak ku yang meninggal." ujarnya setengah menggumam.

"O...oh, tentu saja bisa. Istirahatlah dulu, aku akan mengantarkanmu setelah kau istirahat."

Hanji berjalan keluar dari ruang rawat Eren. Wanita itu sedih karena tidak dapat menyelamatkan satu orang anak Eren. Bagi Hanji, Eren sudah seperti adik untuknya. Ia amat menyayangi Eren.

Sepeninggal Hanji, Eren kembali berbaring di atas ranjang rumah sakit. Pemuda itu memikirkan penjelasan Hanji tadi. Tentang dirinya yang melahirkan anak kembar, tentang anaknya yang lahir sebelum waktunya dan tentang satu anaknya yang mati karena kecerobohannya (menurut Eren).

Eren menghela nafas lelah. Ia memilih untuk memejamkan mata dan berkelana ke dalam lautan mimpi-mimpi indah penghantar tidur. Melupakan sejenak masalah yang terjadi, agar nanti ia dapat menyiapkan mental untuk bertemu dengan anaknya yang mati.
.
.
.
.
Matahari tenggelam, burung hantu serta hewan-hewan malam lain mulai bermunculan untuk melakukan aktivitas mereka di malam hari.

Destiny (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang