31

4.8K 240 0
                                    

"waktu itu ada semacam tugas kelompok dari guru seni gue waktu SMP. Kita disuruh bikin drama. Selama latihan udah bagus, bahkan apresiasi guru seni gue pun bagus. Tapi pas pengambilan nilai, drama itu hancur. Ada yang nggak masuk, otomatis ada beberapa dialog yang hilang. Gue jadi double job. Intinya drama itu hancur dan gue yang disalahkan." Cerita Haikal, sorot mata menatap ke depan, tepat di depan panggung Erin ada disana.

Aku menangguk sedangkan Gendis berdecak tak jelas. Sepertinya aku mulai memahami bagaimana watak Haikal.

Aku mengehela napas, "lo terlalu mengingat masa lalu. Iya sih masalalu itu pelajaran tapi lo nggak harus hidup dengan masa lalu. Lo ingat terus juga berdampak sama mental lo. Hidup itu kedepan, kalau lo diem aja nggak bakal maju lo, malah kebelakang dan celaka."

Aku menenggok melihat Haikal yang mengangguk di samping Gendis. Lalu melihat ke belakang, teman-teman sekelas sudah muncul. Langsung saja aku berdiri.

"Lo kayak priskiater." Ucap Haikal pelan, "lo bisa memahami mental orang."

Aku tersenyum miring, "emang". Aku memberi kode kepada Gendis untuk pergi ke panggung. Aku membiarkan Haikal tetap duduk. Namun Gendis –yang kita tahu sangat baik, memberitahu Haikal teman-teman datang dan latihan akan segera dimulai.

Aku perduli apa tentang itu. semua teman-teman sudah siap dipanggung. Beberapa dari mereka ada yang mengeluarkan kertas dialog. Aku sendiri menyiapkan laptopku. Aku meminta Alvin untuk meminjam panggung dalam 30 menit. Lalu aku mengecek apakah teman-temanku sudah lengkap.

"siapa yang belum kesini?" tanyaku.

"Dany sebentar lagi katanya, soalnya dipanggil Bu Kusuma." Kata Alvin sambil membaca teks dialognya.

"Sheilla dan Nabila otw Al." kata Keila.

Aku menganggukan kepala. Tapi rasanya ada yang kurang.

"Al, Haikal?!" seru Juli.

Ah iya Haikal. kali ini aku melupakan dia. Mataku menyapu seluruh gedung. Mencari si laki-laki tinggi yang mempunyai pribadi labil dan suka memuji perempuan.

Aku menampak sosok Haikal yang sedang duduk sambil berbicara dengan perempuan. Bukan kuntilanak lo dan aku tidak ingin mengatakan bahwa itu kuntilanak. Aku memicingkan mataku, berharap bisa melihat siapa yang ada disamping Haikal.

"Li itu Haikal, tapi dia lagi ngomong gitu sama cewek. Gue nggak bisa liat ceweknya." Kataku menunjuk tempat dimana Haikal berada.

Juli ikut melihat ke arah yang ku tunjuk. "Itu... itu Hani Al. tumben tuh cewek mau kesini."

Hani. Kita saingan secara sehat. Aku jadi teringat kalimat pendeknya tempo hari. apa dia kesini memang ingin bertemu Haikal? Oh ayolah Alya. Mereka hanya mengobrol, mungkin ada hal yang penting. Aku berusaha menyingkirkan segala macam prasangka.

Sedikit panas memang. Tapi satu hal yang tidak bisa ku indahkan. Mereka, mereka terlihat cocok. Haikal dan Hani. Mereka terlihat serasi. Membuatku sedikit mual dan agak menyakitkan di hati.

Juli mencolek lengan Riyan, memberitahu Haikal sedang duduk bersama Hani mengobrolkan sesuatu. Riyan menganggukan kepala setelah Juli berbisik.

"Gue nyuruh Riyan manggil Haikal. Oh iya Al, Riyan udah tahu dari lama kalo Hani suka sama Haikal, soalnya mereka curhat dulu waktu gue sama Riyan belum pacaran. Geram betul gue, tahu dia pernah curhat ke Riyan." Kata Juli.

"iya sekarang lo yang curhat ke gue." Sindirku yang mendapat senyum nyegir kuda.

Juli menyenggol lengan, "lo nggak jeolus gitu?"

NO; ketika gadis  anti-pacaran jatuh cintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang