28

4.9K 257 0
                                    

Bukankah aku pernah bilang, Haikal mirip dengan seorang dari teman lamaku. Teman yang juga ku cintai. Dia adalah Raka. Raka yang sama dengan Raka yang disukai Manda. Galang Raka Satriano.

Aku sudah lama berteman dengan Raka. Ketika kecil kami bertentanggaan. Aku dan Raka menjadi teman sepermainan. Dia sepeti malaikat pelindung. Jika aku menangis dia akan ikut manangis. Ketika aku marah dan melepaskan amarahku padanya, dia menerima. Dia selalu menangis ketika aku memukulnya, tapi aku tidak bisa lepas darinya yang lebih dewasa dariku. Sungguh, itu masa anak-anak yang indah. Kami sama-sama berumur 5 tahun saat itu.

Jika ada pertanyaan, apakah aku menyukai saat itu? Tidak, sama sekali tidak. Saat aku kecil, aku benar-benar lugu. Bahkan cinta adalah sesuatu yang tidak bisa ku pahami. Hingga Raka pindah rumah begitupula aku, saat itu umur kami 8 tahun. Dan bertemu kembali saat SMP.

Tapi hal itu berubah ketika Manda menceritakan tentang Raka. Aku memang mengenal Raka. Hanya saja aku tidak bisa mengetahui kesenangannya apa saja semenjak dia pindah rumah. Bukankah semakin dewasanya kita, maka kegemaran kita juga akan berubah sesuai pola pikir kita? Itu sebabnya mengapa aku mencari tahu tentang dia. Aku memastikan. Raka adalah Raka.

Aku tahu Raka menyukai Wulan, bahkan pernah berpacaran dengan Wulan yang juga temanku. Aku mendukung perasaan mereka, tapi tidak dengan pacaran –tahu kan aku anti-pacaran. Ya sampai Wulan pindah dan Manda menceritakan perasaannya. Disitulah aku sadar aku juga mencintai Raka.

Aneh. Aku ingin tertawa mengingat saat itu. konyol. Apalagi yang bisa kukatakan? Aku menyukai teman lama setelah seseorang juga menyukainya. Sebutan apa yang pantas untukku?

Melihat postur tubuhnya. Aku yakin, laki-laki yang sedang ada di kasir itu Raka. Perawakannya sangat mirip dengan Raka. Cara berjalannya pun aku tahu, pasti itu dia. Aku bersandar pada rak buku. Ya Allah, Engkau pertemukanku dengannya, apakah ini kebetulan atau takdir?

Aku berusaha mengendalikan emosiku. Sayangnya tangan-tanganku sepertinya mulai penat. Rasanya tanganku bergetar tak kuat menahan bertumpuk-tumpuk buku. BRUK... buku-buku yang ada ditanganku. Aku segera merunduk mengambil buku-buku yang berserakan. Semua buku bisa ku jangkau, ada satu buku yang jauh. Ketika aku berusaha mengapainya, seseorang mengambil. Aku berdiri mengikuti buku itu. seseorang membaca sinopsisnya lalu menyodorkannya padaku. Aku tak berani menatap wajah orang itu.

"Ini." ucapnya, aku mengenal suara itu.

Raka.

Aku mengambil buku itu hati-hati, berusaha tidak melihat matanya ataupun menyentuh tangannya. aku tetap tahu batas-batasnya.

"Alya." Ucap Raka sontak aku mendongak.

Dia benar Raka. Mata coklat tua miliknya  membuatku ingat rasa yang pernah ada.

"Assalamu'alaikum." Ucapnya lembut namun tetap tegas.

Astagfirullah apakah aku sedang melihat matanya. Aku menunduk lebih dalam.

"walaikummusalam," aku menjawab pelan " Raka." Sambungku.

Tanpa memperdulikan ekspresinya seperti apa dan tanpa kata terima kasih. Aku melewatinya. Jantungku memang berdebar kencang, bahkan aku berkeringkat. Rasanya panas sekali. Tapi bukan karena itu semua aku menyolonong pergi dari hadapannya. Aku muslimah, yang harus bisa menjauhi fitnah.

Aku berjalan lurus ke arah buku-buku pelajaran. Setelah sampai di rak buku yang kutuju. Aku menengok ke tempat dimana aku dan Raka bertemu. Memastikan saja, apakah dia masih disana.

Tenyata dia masih disana, terdiam membelakangiku lalu pergi dengan bungkusan berisi buku.

"terima kasih." Gumanku.

Huft. Aku menyandarkan tubuhku ke rak buku. Aku menarik napas lega. Dia sudah pergi. Jika dia tidak pergi juga, bagaiman aku bisa bersikap biasa saja. Segera aku mengambil buku fisika dan matematika. Berjalanlah aku ke kasir untuk membayar buku.

"Assalamu'alaikum cantik." Sapa Mbak Ning –tukang kasir disini. Dia tahu aku sering ke sini.

"Walaikummusalam Mbak Ning."

"kamu baru ke sini ya", Mbak Ning mengambil buku-buku dariku lalu menscan barcode, " udah lama mbak nggak liat kamu kesini."

Aku tersenyum, "iya mbak soalnya banyak tugas. Pulang sore. Jadi nggak sempat beli buku atau mampir kesini."

"pantesan kamu beli buku banyak gini. Memborong ya." Canda Mbak Ning.

Aku tertawa, "ah mbak tau aja."

"eh Al, mbak ada pelanggan cowok. Dia pernah kesini pake seragam yang sama kayak kamu. Badge kelas sama lambing juga sama pesis sama kamu lo." Kata Mbak Ning memberitahuku.

Aku berpikir. Cowok?! Satu sekolah?! Badgenya sama pesis?!. Dahiku berkerut memikirkan siapa, tapi itu bukan urusan jika ada salah satu teman sekelasku. Bukankah ini tempat umum?

"ya terus Alya kenapa, Mbak?"

"Ya enggak kalau aja kamu kenal Al. dia anaknya baik, sering bantuin disini, wawasannya juga luas, kalau ngomong kayak orang dewasa. Kelihatan pintenya gimana gitu." Puji Mbak Ning sambil memasukan buku-bukuku.

"Mbak muji dia banget. Ngefans Mbak?" godaku.

Rona wajah Mbak Ning memerah tapi ia menepis, "mbak itu kagum Al. anaknya itu punya daya pikat berbeda bukan dari fisik. Ngeliat dia kayak ngeliat kamu."

"si Mbak deh, Alya mah Alya aja bukan orang lain."

"maksud Mbak itu kalian cocok deh!"

Aku hanya mengelengkan kepala, "bercanda kan, jangan suka jodohin orang Mbak."

"Nggak jodohin Alya cuman –"

"berapa Mbak Ning?" tanyaku sengaja memutus omongannya yang tidak penting.

Mbak Ning memberikan bukusan berisi buku-buku milikku. "176.800 rupiah." . Aku memberikan 2 lembar 200. Lalu mengambil bungkusan itu dan menunggu Mbak Ning memberikan kembalian.

Tiba-tiba seseorang menyondorkan buku ensiklopedia teknologii dan beberapa komik marvel. Aku melihat asal datangnya buku itu. Namun ku urungkan karena orang itu berbicara namun mendengar suara sepertinya aku familiar.

"berapa Mbak?" tanya orang itu.

Mbak Ning memberikan kembalian uangku lalu beralih ke orang itu.

"95.000 rupiah, Haikal."

Haikal. Banyak orang yang namanya Haikal kan? tapi apakah itu Haikal yang sama. Refleks aku menenggok ke arah samping. Dia Haikal, si mister genius. Dia juga kesini. Haikal juga melihatku. Segera ia bergeser menjauh dariku. Aku melihat Mbak Ning.

"Alya, ini lo orangnya kata Mbak tadi!" seru Mbak Ning bersemangat.

Jadi yang dibicarakan Mbak Ning itu, Haikal. Aku tersenyum saja. Aku segera menjauh dan mengucapkan terima kasih kepada Mbak Ning. Jantungku berdebar lagi, bahkan lebih kencang. Rasanya aku berkeringat lagi. Ruangan ini berAC atau ACnya mati, kenapa udara begitu panas. Aku berjalan ke pintu sambil mengibaskan tanganku.

Ketika aku sampai di luar, aku meneggok ke belakang. Haikal masih disana berbincang dengan Mbak Ning. Sepertinya Haikal pelangan tetap disini sama sepertiku atau memang dia sering kesini. Hari ini Raka kesini, Haikal juga ke amda's book. Aku mengalihkan pandanganku menatap langit sore.

"Ya Allah hari ini Kau pertemukan aku dengan dua laki-laki yang kusukai. Apakah ini kebetulan atau takdir?"

000

UK{x

Ciee hari ini gue update dua bab ya.. bonus lah. oh iya sebelumnya gue pernah bilang soal jenis cerita ini. fiksi remaja islami.  ya ini emang cerita cinta tapi islami. jadi wajar kalo nggak adegan peluk-memeluk, kissing, touching, dan sejenisnya. gue mau ngasih tau kalo ada satu moment indah ketika jatuh cinta tanpa adegan touching seperti di tv, novel-novel, dan film lainnya. so sorry for typo, keep reading, voment, dan dont be siilent reader.

mulmed: Raisa-tentang cinta

NO; ketika gadis  anti-pacaran jatuh cintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang