Eunji menggenggam erat cangkir berisi coklat panas di meja. Menghela napas panjang, mencoba meredakan detakan jantung yang menggebu. Dua hari ini jantungnya sulit dikendalikan. Apa setelah buta, ia menderita serangan jantung?
"Jangan pergi. Kumohon."
Tiga kata itu terus saja berputar di otaknya. Seperti enzim yang mempercepat laju reaksi, bedanya tiga kata itu mempercepat detak jantungnya.
Ia masih ingat betul ketika Oh Sehun mendekap tubuhnya, menahannya, dan mengatakan jangan pergi. Saat ini usia Jung Eunji sembilan belas tahun. Perkara cinta adalah hal yang mudah dimengerti. Pelukan, berpegangan tangan, bukan lagi hal tabu baginya.
Tentang bagaimana Oh Sehun menggenggam tangannya saat di rumah sakit, mengajaknya tinggal di rumahnya. Tentang bagaimana Oh Sehun menahannya, tak mengijinkan Eunji pergi malam itu. Eunji tahu bahwa Oh Sehun melakukannya bukan tanpa alasan. Hanya saja, ia ragu, alasan apa yang membuat Sehun menahannya. Jika mengatakannya sebagai cinta, mungkin terlalu berlebihan dan buru-buru.
"Jadi.. itu bukan cinta. Itu hanya empati. Oh Sehun hanya mengasihanimu, Jung Eunji." Batin Eunji, menggigit bibir.
**
2012. Akhir musim gugur.
Tao menggebrak meja. "Kau gila, Hun!" Lalu kembali duduk dan menatap tajam Sehun. "Bagaimana bisa kau melempar botol soju ke kepala Eunji sampai dia buta?!"
Kai dan Sehun berdecih. "Dia kan sudah bilang kalau sedang mabuk. Sehun tidak sengaja." Bela Kai.
"Tapi itu gila!"
"Aku sudah tanggung jawab. Lagipula ada pendonor mata masuk. Tiga minggu lagi, semua kembali normal. Dia bisa kembali melihat; aku lepas tanggung jawab; lalu kami kembali ke kehidupan masing-masing. Selesai." Ungkap Sehun santai, menyeruput minuman yang tadi ia pesan.
Tao masih menatap Sehun intens. "Kau.. tidak akan masuk penjara atas tindakanmu ini kan?"
Kali ini Sehun terdiam. Menggigit sedotan yang saat ini tertinggal di mulutnya. "Tidak akan." Jawabnya mantap. "Appa-ku memberikan banyak uang untuk ibu Eunji sebagai permohonan damai."
Huang Zi Tao mengangguk. Menatap prihatin temannya itu. Sementara Kai, memilih untuk bungkam dan menjadi pendengar yang baik. Meski banyak juga pertanyaan yang berkelebat di otaknya.
"Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Naeun? Kau masih sering mengunjunginya?" Tanya Tao lagi. Mengganti topik.
Sehun tak merespon. Berbicara soal Naeun, ia tersadar bahwa ada hal yang harus ia konfirmasi. Maka dengan sekali hentak, ia beranjak meninggalkan kantin sekolah.
Namun sebelumnya, Kai menahannya. Bertanya, "Apa yang membuatmu begitu terobsesi pada gadis itu? Kau sering cerita bahwa dia tak pernah menginginkanmu. Apa ada cerita lain yang kau sembunyikan pada kami, Hun?"
Dan hanya suara hela napas Sehun yang menjadi jawaban Kai.
**
Xi Luhan menghentikan mobil van putihnya di pekarangan rumah. Sebuket bunga lili kuning berada di genggaman. Melangkah ke dalam rumah, mencium aroma wangi bunga, dan tersenyum manis begitu siluet wanita berhasil ia tangkap.
"Selamat sore, Eomma." Sapa Luhan. Memberikan buket bunganya. Melempar senyum termanisnya pada wanita yang duduk di kursi roda itu.
"Kau sudah pulang, Lu?" Kata seorang wanita lain. Datang membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air. "Bagaimana pekerjaanmu hari ini?"
Luhan mengangguk. "Seperti biasa. Banyak pasien memintaku untuk menyembuhkan mereka. Dan beberapa dari mereka memuji ketampananku."
Wanita yang membawa nampan itu berdecih. Menaruh nampannya ke meja. Itu bibi Luhan, wanita baik hati yang bersedia merawat ibu Luhan. Sementara wanita yang terduduk di kursi roda itu adalah ibu Luhan. Wanita paruh baya yang memiliki senyum malaikat.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY
FanfictionKetika puluhan keping takdir menyeramkan mengepung anganmu dari berbagai sisi, kemanakah kau akan berlindung? Beautiful cover by LhyFinda Art.