Home

528 97 12
                                    

Sehun tidak begitu paham soal makanan apa yang sekiranya pantas menjadi menu makan malam seorang gadis. Namun ketika membuka kulkas dan hanya melihat beberapa bungkus ramen instant, keputusan akhirnya keluar. Dua gelas air ia tuang ke panci, menyalakan kompor. Begitu air mendidih, ramen instant itu ia masukan. Menunggu sambil menuang seasoning powder ke mangkuk.

Tangan kanannya tengah mengaduk isi panci ketika sepasang lengan tiba-tiba melingkar ke perutnya. Disusul sebuah kepala yang bersandar tanpa ijin ke punggung. Seorang gadis tengah mendekapnya dari belakang. Meski pegal menyergap, Sehun tak menolak. Dirinya masih fokus pada ramen yang sebentar lagi matang.

"Terima kasih." Ujar gadis itu. "Dan maafkan aku."

Sehun lebih menyukai ungkapan pertama. Terima kasih, dibanding maaf, karena maaf hanya terucap saat seseorang membuat kesalahan. Itu menyebalkan. Asap mengepul ketika Sehun mematikan kompor, menuang ramen ke mangkuk berisi bumbu. Mengaduknya sembari berucap, "Sudah matang."

"Aku ingin kau menemaniku makan." Gadis itu memohon.

Tangan Sehun melepas paksa pelukan gadis di belakangnya. "Aku tidak bisa." Sedikit mengambil jarak. "Ralat, aku tidak mau." Dia menuju sofa, mulai mengenakan mantel coklat yang sempat ditanggalkan.

"Pembohong." Gadis itu berseru sebelum Sehun sempat membuka pintu keluar. "Selain sarkatis, kau itu pembohong."

Mata Sehun mengikuti gerakan gadis yang kini mendekat ke arahnya. Aroma pekat ramen panas dengan kuah pedas tak ia hiraukan.
"Saat kau bilang tak peduli, itu artinya kau peduli. Saat kau bilang ingin menghancurkanku, maka artinya sebaliknya. Dan saat kau bilang tak mau, berarti sebenarnya kau mau, bahkan menginginkannya."

"Aku pergi."

Omongan basa-basi itu tak membuat Sehun tertarik. Ia membuka pintu, tapi gerakan gadis itu lebih cepat. Tangan Sehun ditarik. Tak diijinkan untuk meninggalkan pintu apartemen nomor 21 ini. Padahal kalau Sehun mau, hanya dengan sekali hempasan saja ia bisa bebas. Sayangnya Sehun memilih menunggu.

"Kau tidak boleh pergi!" Gadis itu berteriak. Dengan sekali gerakan, berjinjit, menyamakan tingginya dengan Sehun, lantas mendaratkan sebuah ciuman di bibir pria itu.

Sehun tak terkejut. Tak menolak, tapi juga tak membalas. Matanya masih terbuka, menatap tanpa ekspresi gadis di depannya yang memejamkan mata. Pautan itu cukup lama, tapi akhirnya lepas.

"Aku.. akan meninggalkan dunia ini, Hun." Gadis itu melirih. Dengan posisinya yang masih cukup dekat dengan Sehun, napasnya menerpa kulit pucat pria itu.

"Pembohong." Kali ini Sehun yang berujar, mengatai. Seolah membalas asumsi gadis itu terhadapnya tadi. "Setiap posisimu terjepit, kau akan datang padaku. Mengatakan ingin keluar dari dunia itu, tapi nyatanya sampai saat ini kau tak bergerak. Kau bersembunyi sampai keadaan membaik, lalu setelah peluang datang, kau membiarkan arus kembali membawamu. Dunia itu tak pernah kau usahakan untuk hilang. Pembohong itu kau, Son Naeun."

Naeun tertawa kecil. "Begitu? Anehnya kau tak pernah membiarkanku sendiri. Berulang kali kau bilang ingin menghancurkanku, tapi nyatanya kau datang untuk menyelamatkanku, rajin mengunjungi klub hanya untuk memastikan keadaanku, melindungiku." Ia memautkan jemarinya ke jemari Sehun. "Kita ini.. sama-sama pembohong, ya, Hun?"

Sehun mengusap wajahnya yang kebas. Perkataan Son Naeun yang ditujukan padanya resmi benar. Namun kali ini ia ingin alurnya berbeda. Ia ingin kebohongan ini berakhir pada adegan ini. Dengan kata lain, Sehun berharap Son Naeun benar-benar meninggalkan dunia itu. Dunia gelap yang penuh keputus-asaan. Yang saat ini, secara perlahan, menggerogoti fisik dan psikisnya.

"Aku ingin kau membuang obat itu." Kata Sehun. Matanya menatap lelah mata Naeun, namun ekspresi dingin masih melekat.

Untuk sesaat, Naeun memandangi wajah Sehun dengan raut penuh luka. Namun kemudian, ia pergi menuju kamar, agak lama. Lalu kembali membawa sebuah botol berkapasitas lima mililiter dan spuit--istilah medis untuk jarum suntik.

DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang